Mei 29, 2010

NYAI ONTOSOROH MENGGUGAT !

Oleh: SangKodok
Foto by: Arits Djenggot



Ya, betul. Betul sekali!

Nyai Ontosoroh dengan berang dan berani menggugat penguasa. Dengan tudingan telunjuknya dan mata berapi-api, Nyai Ontosoroh menggugat ketidak-adilan, menggugat diskriminasi terhadap dirinya, sebagai orang pribumi. Menggugat diskriminasi terhadap menantunya, Minke. Hakikatnya Nyai Ontosoroh menggugat penindasan dan diskriminasi penguasa kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia.

Perkawinan Annelies, putri Nyai Ontosoroh dengan Minke, anak bupati Jawa, tidak diakui oleh penguasa Belanda. Dikatakan bahwa Annelies masih di bawah umur. Juga dikatakan bahwa Annelies bukan putri dari Nyai Ontosoroh. Annelies hanyalah putri dari Herman Melemma. Si tuan majikan yang telah 'membeli'nya dari orangtuanya. Kemudian menjadikannya gundik, dengan sebutan 'Nyai'. Penguasa Belanda menolak mengakui Annelies adalah hasil hubungan Nyai Ontosoroh dengan tuan Melemma. Karena itu, katanya, bukan perkawinan yang disahkan hukum Hindia Belanda. Nyai Ontosoroh, semata-mata dianggap dan diperlakukan sebagai gundik belaka!.



Kongkalikong penguasa dengan pengadilan kolonial telah merenggutkan putri satu-satunya Nyai Ontosoroh, Annelies, dari ibu kandungnya.

Maka, Nyai Ontosoroh tampil berani menggugat pengadilan dan penguasa Belanda. Kekuasaan kolonial Belanda yang begitu kokoh bercokol di Indonesia, tidak memungkinkan Nyai Ontosoroh bisa mencapai kemenangan di pengdilan kolonial Belanda. Demikianlah bisa diperkirakan sejak semula, bahwa Nyai Ontosoroh kalah!
Selengkapnya...

SUDAH SEHARUSNYA BANTUAN HUKUM DI BERIKAN

Oleh: SangKodok

A. Latar Belakang

Sejak lahir ke dunia, manusia telah berinteraksi dengan manusia lainnya dalam suatu tempat dan wadah yang bernama masyarakat, baik itu antar individu maupun atar kelompok. Sejarah interaksi antar sesama manusia adalah masa yang paling sederhana pada fase-fase primitive, dan bahkan interaksi itu masih tetap digunakan hinga sekarang guna mencapai kepentingan masing-masing baik itu individual maupun kelompok. Berkembangannya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangan masyarakat, telah menimbulkan berbagai macam multi kepentingan dimasyarakat, sehingga meyebabkan kebutuhan manusia juga berkembang dan beragam.
Dalam perkembanagannya, akibat yang ditimbulkan oleh sebuah interaksi sosial, maka timbulah ketimpangan-ketimpangan yang muncul akibat perbedaan kepentingan, sehingga mengharuskan suatu kelompok untuk membuat peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa dan mengatur guna melindungi hak-hak ataupun kepentingan orang lain. Ini merupakan sebuah bentuk kesadaran dalam diri manusia atau kelompok untuk menghargai hak-hak orang lain.
Fakta sejarah menunjukan bahwa dengan adanya kepentingan-kepentingan dari sebuah interaksi sosial dan dengan adanya aturan dalam sebuah kelompok yang pada akhirnya memaksa timbulnya sebuah kelompok besar (dibaca negara) merupakan sebagai salah satu latar belakang utuk melindungi manusia yang lemah. Menurut Thomas Hobbes manusia merupakan serigala bagi manusia yang lain. Argument Hobbes merupakan suatu realita pada saat itu, karna didasari oleh manusia yang lemah ditindas oleh manusia yang lebih kuat. Karenanya negara dibutuhkan untuk melindungi manusia-manusia yang lemah, dimana alat perlindungan bagi manusia dilaksanakan melalui alat negara yakni dengan menciptakan peragkat hukumnya. Masyarakat yang tertinggal secara ekonomi merupakan pihak yang lemah dalam dialektika kehidupan.
Merujuk pada fase perkembangan ekonomi dan politik, dapat kita lihat kelas yang paling lemah adalah kelas yang tidak menguasai alat-alat produksi. Kemunculan teorinya Adam Smith dan David Ricardo melalui Wealth of Nation merupakan salah satu akibat munculnya kesenjangan ekonomi. Teori liberalisasi yang diinginkannya menciptakan kondisi manusia harus melakukan kompetisi dengan manusia lainnya dalam kepentingan ekonomi.
Karl Marx muncul dengan gagasan teori sosialisme, yang mengkritik teorinya Adam Smith menyatakan bahwa kompetisi telah membawa proses kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi bagi masyarakat. Karna letak masalahnya ada pada penguasaan alat-alat produksi sehingga penguasa alat-alat produksi (dibaca:pemilik modal) memiliki bargaining position yang tinggi, sehingga menimbulkan potensi penindasan terhadap kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi. Marx menganalisis lebih jauh tentang hubungannya dengan Negara, dimana negara merupakan aktor yang bisa memaksa masyarakat untuk mematuhi setiap garis kebijakan atau aturan-aturan yang telah diciptakan. Oleh karenanya keberpihakan negara pada rakyat miskin sangat diperlukan. Kritikan Marx sampai pada dataran yang lebih jauh yakni masyarakat miskin ditindas oleh negara. Masyarakat miskin tertindas oleh ragam multidimensional.
Pada zaman kegelapan, masyarakat di benua eropa hidup dalam kungkungan ketertindasan serta kemiskinan. Mereka hidup terbelakang dibandingkan masyarakat di tempat lainnya. Renaissance yang kemudian datang mengubah eropa dan memberi banyak kontribusi untuk perkembangan ide-ide negara dan hukum pada saat itu. Tindakan sewenang-wewenang para raja di eropa pada masa kegelapan merupakan latar belakang lahirnya ide-ide akan perubahan sosial, yang pada kenyataannya melahirkan sebuah gagasan-gagasan atau teori baru mengenai hubungan kekuasaan negara dan rakyat. Apresiasi dan respon progresif rakyat terhadap tata cara bernegara juga berakibat menguatnya ide-ide perlunya mewujudkan dan melindungi hak-hak asasi manusia.
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Salah satu ciri negara hukum juga tidak dapat dilepaskan dari peran negara dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.
Tujuan hukum sendiri yang lebih popular kita dengar adalah mendapatkan keadilan, namun ada satu pertanyaan besar yang perlu kita berikan. Adakah keadilan itu berlaku bagi semua orang? Atau keadilan hanya didapatkan oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan. Hukum dalam realita (das sein) masih saja kita temukan keberpihakannya kepada golengan elit. Sehingga dikatakan oleh para kalangan kritikus hukum bukan lagi berfungsi sebagai instrument pengendalian sosial. Tetapi sebagai alat bagi penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya.
1. Negara Hukum
Negara hukum adalah sebuah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemeberi suara rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat). Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi dan berdasarkan hukum. Menurutnya yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang akan menetukan baik buruknya suatu hukum. Immanuel Kant menggambarkan negara hukum berfungsi sebagai penjaga malam, artinya tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar jangan digagnggu dan dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ikut campur tangan, negara hanya sebagai Nachwaster Staat. Teori pemikiran ini dapat dikatakan teori pemikiran negara hukum liberal.
Pengertian negara hukum bila kita kaji dari beberapa filosof sangat beragam, hal ini disebabkan karena terus berkembangnya ilmu pengetahuan. Lain lagi halnya dengan A.V Dicey, salah seorang pemikir Inggris yang termahsyur, mengemukakan tiga unsur utama pemerintah yang kekuasaannya di bawah hukum (the rule of law) yakni Supremacy of Law, Equality Before the Law dan Constitution Based on Individul Rights. Dari rumusan A.V Dicey tersebut jelas mengisyaratkan pengakuan adanya kedaulatan hukum atau supremasi hukum untuk mencegah adanya kekuasaan-kekuasaan yang bersifat pribadi, baik berasal dari perorangan atau segolongan manusia.
Ismail Sunny menyimpulkan bahwa suatu masyarakat baru dapat disebut berada di bawah the rule of law, bila ia memili syarat-syarat esensial tertentu, antara lain harus terdapat kondisi-kondisi minimum dari suatu system hukum dimana HAM dan hukum dihormati.
Dalam symposium menegenai negara hukum yang pernah diadakan di Jakarta pada tahun 1966 dalam keputusan symposium tersebut ciri khas negara hukum adalah:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaandalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
3. Legalitas dalam artian hukum dalam segala bentuknya.
Membahas negara hukum juga tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Adapun hubungan antara hukum dengan demokrasi pada hakikatnya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak dan berkarakter demokratis, sedangkan di negara yang otoriter atau non-demokratis akan lahir hukum hukum non-demokratis.
2. Hukum dan Kekuasaan
Secara sederhana, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Geselchaft (1982) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kamauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini. Seiring dengan itu, Miriam Budiarjo merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum, demikian juga sebaliknya hukum memiliki arti penting bagi kekuasaan. Di satu pihak, hukum adalah kekuasaan atau wewenang legal, di pihak lain hukum itu adalah aturan-aturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, termasuk tingkah laku para penyelenggara Negara. Hubungan hukum dan kekuasaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hukum adalah Kekuasaan
Tata tertib atau aturan-aturan dalam masyarakat tidak akan terwujud tanpa adanya kekuasaan yang lebih kuat baik dari kekuasaan segala individu ataupun golongan. Kekuasaan yang demikian disebut sebagai aturan hukum, dimana seolah-olah termasuk kekuatan-kekuatan fisik dan batin dari seluruh masyarakat. Hukum pada asasnya adalah kekuasaan, karena sebagai alat pengatur dalam masyarakat, hukum tidak dapat mengikuti suara hati tiap-tiap individu, lebih-lebih karena ada juga manusia yang tidak memiliki suara hati atau mempunyai suara hati yang luas.
Hukum adalah kekuasaan tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. hukum adalah kekuasaan akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. Sebagai contoh, seorang pencuri menguasai barang curian. Ia berkuasa atas barang curiannya itu, tetapi penguasaannya itu tidak dilindungi hukum, karena ia tidak memiliki hak atas barang itu.
b. Hukum Sebagai Dasar Legalitas Kekuasaan sekaligus Mengatur dan Membatasi Kekuasaan
Dalam masyarakat yang diatur oleh hukum, kekuasaan yang ada pada orang-orang hanya bisa diberikan melalui hukum. Berdasar pada hukum, kekuasaan dibagi-bagikan dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya diberikan kepada orang atau individu, melainkan juga kepada badan atau kumpulan orang-orang, seperti kekuasaan dibidang kenegaraan.
Disini harus dibedakan kekuasaan sebagai konsep yang murni dengan kekuasaan yang diatur oleh hukum. Kekuasaan yang murni tidak bisa menerima batasan-batasan, sedangkan kekuasaan yang diatur hukum merupakan sesuatu yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur memperolehnya dan pertanggung jawabannya.
Oleh karena itu hukum memberikan pembatasan-pemabatasan yang demikian, maka institusi hukum itu hanya bisa berjalan dan berkembang dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.
c. Kekuasaan adalah Sarana untuk Membentuk Hukum Sekaligus Instrumen Penegakannya
Suatu aturan dikatakan sah apabila dibuat oleh lembaga yang berwenang. Karena itu kekuasaan dikatakan sebagai sarana untuk membentuk hukum sekaligus instrumen penegakannya. Kekuasaan merupakan alat untuk penegakan hukum, tanpa adanya kekuasaan maka hukum tidak dapat ditegakkan. Karena itu dapat dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.
3. Keadilan Untuk Rakyat Miskin
Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan “Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut mengisyaratkan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara. Bunyi pasal ini juga sesuai dengan asas dalam hukum yaitu equality before the law.
Banyak penjahat kriminal dengan banyak tuduhan, seperti melarikan diri ketika masih dalam pemeriksaan, terbuktinya pelaku utama kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), atau kasus-kasus lainnya, divonis hanya belasan tahun. Banyak juga kita lihat di lapangan para pejabat negara yang sudah terbukti bersalah masih saja dapat bebas berkeliaran.
Akan tetapi lain halnya dengan masyarakat kecil seperti maling sandal atau pencuri ayam yang belum tentu cukup bukti namun majelis hakim menolak untuk atas permintaan penangguhan penahan terdakwa. Perbedaan penerapan hukum antara orang besar dengan orang kecil, kaya dan miskin akan semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum di Indonesia. Belum lagi halnya dalam tahanan, orang kaya atau pejabat mendapatkan ruang tahanan yang khusus sedangkan rakyat miskin mendapatkan perlakuan yang tidak pada tempatnya.
Adalah benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum secara naïf, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan memberikan perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan, singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam masyarakat. Apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik, bahkan niat jahat.
Sadjipto Raharjo menyatakan dalam bukunya Sisi lain Hukum di Indonesia, salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi “permainan”. Yang dimaksud dengan permainan di sini adalah menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri. Dengan demikian tujuan hukum untuk memberikan keadilan telah mengalami kemorosotan menjadi permainan.
Bila kita kaji apa yang dikatakan oleh Satjipto rahardjo sangat beralasan, mengingat dalam dunia realitas seolah-olah hukum hanya menjadi permainan para elit. Sedangkan bagi rakyat miskin dituntut untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan. Fenomena mafia peradilan telah menghentakkan dunia hukum di negeri kita. Sehingga saat ini telah muncul lembaga yang mengawasi perilaku hakim untuk menciptakan lembaga peradilan yang bersih dan sehat.
Para pengacara, yang tidak hentinya terus mengutak-atik hasil keputusan pengadilan. Dari banding, kasasi hingga peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA). Tersirat bagi kita para pengacara bukan lagi mencari keadilan akan tetapi berusaha agar memenangkan kliennya sehingga menaiki harkat sebagai pengacara yang handal. Tentunya dikemudian hari dapat menambah pendapatan bagi mereka. Beda halnya dengan rakyat kecil dan miskin yang tidak mampu membayar pengacara sehingga mereka “terpaksa” pasrah pada hasil kepeutusan majelis hakim.
Keadilan merupakan hak semua orang tanpa kecuali. Hak tersebut merupakan hak warga negara yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Karenanya perlu pendidikan moral bagi aparatur hukum. Perlu adanya cita-cita pembangunan hukum. Meskipun berat untuk mewujudkan namun keadilan harus tetap ditegakkan. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan akses keadilan bagi siapapun termasuk bagi rakyat miskin.
Hukum sendiri dipandang sebagai norma-norma yang bersumber dari masyarakat (kumpulan semua individu) dengan maksud untuk menegakkan keadilan (justice). Ini berarti dasar keberadaan negara yang berdasarkan hukum adalah negara yang ditujukan untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian kewajiban utama negara berdasarkan hukum adalah menegakkan keadilan.

B. Tinjauan Umum Bantuan Hukum
Persoalan bantuan hukum dalam artian yang luas, yang berarti bantuan hukum yang diberikan oleh Advokat dan procureur dimuka persidangan Pengadilan Negeri sebenarnya bukanlah barang baru bagi kita. Masalah yang demikian sebenarnya sudah cukup lama dikaji dalam pelajaran hukum acara pidana dan acara perdata atau dalam hubungannnya dengan tugas dan wewenang peradilan, namun hingga sekarang masalah ini rupanya masih tetap menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut baik dalam konteksnya dengan usaha penegakan hukum maupun hak asasi manusia.
Sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat suatu rumusan yang tepat mengenai apa yang sebenarnya, dengan yang dimaksud dengan bantuan hukum itu. Secara konvensional di negara kita sejak dahulu bantuan hukum ini diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh seorang Advokat terhadap clientnya baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana di muka pesidangan, walaupun istilah ini kurang begitu populer dipergunaan pada masa lampau. Bagi negara kita istilah ini baru dipopulerkan sekitar tahun 1964 semenjak dikeluarkannya undang undang No. 19/1964 yang secara tegas mengatur tentang masalah bantuan hukum.
Istilah bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah yang berbeda yaitu “Legal Aid” dan “Legal Assistance”. Istilah Legal Aid biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang hukum kepada seorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis yang pada khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Sedangkan pengertian Legal Assistance dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum oleh para Advokat yang mempergunakan honorarium.
1. Bantuan Hukum Di Indonesia
Bantuan hukum di Indonesia sesungguhnya bukanlah hal baru. Diskursus mengenai hal ini sudah lama berkembang dikalangan para pemerhati hukum di negeri ini. Dari masa pra kemerdekaan hingga sampai sekarang, permasalahan bantuan hukum masih selalu tetap relevan untuk dijadikan bahan kajian diantara grand tema isu-isu hukum yang lain. Hal ini cukup beralasan karena bantuan hukum selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan hukum itu sendiri.
Perkembangan bantuan hukum di Indonesia mulai memasuki babak baru ketika di era tahun 70-an. Babak baru tersebut dimulai ketika berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution dkk. Selain karena mengusung konsep baru dalam pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia LBH Jakarta juga dianggap sebagai cikal bakal bantuan hukum yang terlembaga yang dikatakan paling berhasil pada masa itu. Hingga tak pelak Pendirian lembaga bantuan hukum ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai macam dan bentuk organisasi dan wadah bantuan hukum di Indonesia. Seorang peneliti asing, Daniel S. Lev mencatat diawal tahun 1980-an terdapat hampir seratus organisasi yang terlibat dalam bantuan hukum dalam beragam macam jenisnya.
Semakin berkembangnnya wacana dan berbagai macam konsep bantuan hukum di Indonesia sesungguhnya merupakan jawaban terhadap adanya kebutuhan rakyat terhadap hal tersebut. Sebagian besar rakyat Indonesia yang masih dibawah garis kemiskinan dan buta hukum mendorong tumbuhnya kesadaran disebagian kalangan yang concern mengenai hal ini untuk mencari formula yang ampuh untuk mengatasi permasalahan tersebut. Advokat sebagai aktor utama dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum memiliki peran yang strategis untuk merealisasikannya. Kenyataan ini terkait dengan tugas dan tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat yang membutuhkan bantuannya.
Perubahan konsep dalam pemberian bantuan hukum juga sangat mempengaruhi kemajuan program bantuan hukum di Indonesia. Konsep bantuan hukum tradisional yang dahulu dipakai ternyata tak mampu menjawab semua permasalahan yang terjadi di lapangan, sehingga memunculkan konsep baru yaitu konsep bantuan hukum konstitusional untuk menutupi kelemahan bantuan hukum yang bersifat tradisional. Lambat laun konsep bantuan hukum konstitusional pun “dimodifikasi” dengan memperkenalkan gerakan bantuan hukum struktural yang dimotori oleh lembaga bantuan hukum (LBH) yang mengubah paradigma bantuan hukum yang semula bersifat kultural menjadi aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat.
2. Bantuan Hukum Struktural
Ketimpangan sosial diberbagai bidang kehidupan yang ada di masyarakat mulai dari hukum, politik, sosial, budaya, ekonomi dll tentunya membuat ironi sekaligus miris, banyak wacana yang dikumandangkan oleh para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, namun alih alih memperbaiki keadaan malah justru menjadikan masyarakat miskin sebagai obyek wacana, termasuk sebagaian besar penegak hukum termasuk Advokat. Sangat jarang kita melihat dan mendengar Advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma pada simiskin, kalaupun ada biasanya dikarenakan adanya sorotan luas oleh media massa, dan dapat memberikan keuntungan popularitas bagi Advokat.
Untuk itu kita coba mengangkat kembali wacana tentang bantuan hukum struktural, yang sudah sangat jarang untuk diwacanakan kembali, kalaupun ada hanya dalam kalangan terbatas dikantor kantor lembaga bantuan hukum, padahal bantuan hukum struktural adalah konsep yang harus dimengerti dan dijalankan oleh Advokat diseluruh Indonesia.
Bantuan hukum struktural, bukanlah konsep bantuan hukum yang tidak mempunyai landasan konstitusional. Sesungguhnya bantuan hukum struktural adalah konsep yang lahir atas dasar pemahaman yang mendalam tentang tujuan kita bermasyarakat yang sebetulnya hendak memerdekakan bangsa dalam arti sesungguhnya, tidak lagi dijajah, karena penjajahan itu tidak bisa dibenarkan. Untuk jelasnya mari kita baca alenia pertama dari pembukaan Undang Undang Dasar 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”
Kita sekarang bisa bertanya apa sebetulnya, makna “kemerdekaan” yang ditulis dalam alenia pertama dan apa pula kaitannya dengan “keadilan sosial” yang menjadi tujuan kita bernegara? Secara khusus tidak ada penjelasan, tapi sudah pada tempatnya jika kita menafsirkan kemerdekaan dalam arti yang luas, bukan saja kemerdekaan dari belenggu penjajahan fisik bangsa asing tetapi justru kemerdekaan dari segala bentuk penindasan politik, hukum, ekonomi, dan budaya.
Dalam konteks itu kita berbicara mengenai bantuan hukum struktural yang lahir sebagai konsekuensi dari pemahaman kita terhadap hukum. Realitas hukum yang kini kita hadapi adalah produk dari sebuah proses-proses sosial yang terjadi di atas pola hubungan tertentu di antara infra struktur masyarakat yang ada. Hukum sebenarnya merupakan super struktur yang senantiasa berubah dan yang merupakan hasil interaksi di antara infra struktur masyarakat. Oleh karena itu selama pola hubungan di antara infra struktur menunjukkan gejala yang timpang maka hal yang demikian itu akan semakin mempersulit terwujudnya hukum yang adil.
Dalam hal itu maka sebenarnya ketidakadilan, penindasan, yang amat sering kita jumpai di tengah masyarakat tidak bersumber pada faktor adanya tingkah laku individu yang menyimpang dari norma-norma hak asasi akan tetapi bersumber pada faktor adanya pola hubungan sosial yang timpang itu.
Dengan demikian bantuan hukum struktural berarti merupakan rangkaian program baik melalui jalan hukum maupun jalan halal lain yang diarahkan bagi perubahan pada hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Hal ini merupakan pra syarat bagi pengembangan hukum yang memberikan keadilan bagi mayoritas kaum miskin di Indonesia. Ini berarti konsep bantuan hukum structural dikembangkan dalam konteks pembangunan masyarakat adil dan makmur.
3. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan yang banyak diwacanakan oleh berbagai kalangan akhir akhir ini sebetulnya telah menjadi perdebatan sejak masa lalu, ketimpangan sebagai dampak dari dianutnya sistem ekonomi kapital oleh rezim rezim pemerintahan di Indonesia menjadikan hampir seluruh sumber daya alam dikuasai oleh perusahaan korporasi asing, sekaligus membuat masyarakat Indonesia menjadi buruh di negerinya sendiri.
Kemiskinan ini, lebih jauh adalah warisan sejarah masa silam, estafet penjajahan yang berabad abad dan sekarang dilanjutkan lagi dengan penjajahan bentuk baru (neokolonialism) sebagai akibat dari kekuatan ekonomi, politik, teknologi, militer dan informasi dari dunia industri ke dunia miskin.
Karena kemiskinan yang kita perbincangkan disini bersifat struktural, sebetulnya pembicaraan mengenai kemiskinan juga jadi struktural. Kita tidak bisa lagi menggunakan pendapatan perkapita untuk mengukur kemiskinan, karena bisa saja seseorang itu pendapatan per kapitanya melampaui garis batas kemiskinan tetapi secara struktural ia adalah orang yang jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, terasing dari kemungkinan partisipasi. Mereka yang miskin ini kalau boleh kita mengutip teori Johan Galtung adalah mereka yang diluar “pusat” (center) yaitu mereka yang berada di “pinggiran” (peri phery).
Jadi, dalam situasi perkembangan politik dan masyarakat dewasa ini, kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa kemiskinan hanya sebatas pada kekurangan materi semata, namun lebih dari itu sebagian besar masyarakat miskin karena disebabkan oleh faktor keterbelakangan mereka dalam memahami hak hak mereka baik sebagai warga masyarakat sekaligus sebagai subyek hukum.
4. Bantuan Hukum Sebagai Hak Asasi Manusia
Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 34 UUD 1945 di mana di dalamnya ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk di bela Advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Dan pada perkembangannya meskipun telah di amandemen empat kali, Dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD’45) sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia, pasal pasal tentang perlindungan terhadap Hak hak asasi manusia selalu terjamin, tidak terkecuali dengan jaminan terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang termaktub dalam pasal 28D UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Oleh karena itu, Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh negara dan bukan belas kasihan dari negara, hal ini penting karena sering kali bantuan hukum diartikan sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil, karena itu sebuah keharusan.


Selengkapnya...

Rahasia dan Keindahan Candi Sukuh Dan Candi Ceto

Oleh: SangKodok

Gunung Lawu memiliki arti penting bagi warga Hindu di Nusantara

Selain masih menyimpan peninggalan candi Hindu,
juga diyakini sebagai tempat moksa Raja Majapahit,

Indonesia khususnya di daerah Pulau Jawa, lebih-lebih di wilayah Jawa Tengah, Solo, dan Yogyakarta, dikenal sebagai tempat-tempat situs purbakala berupa candi. Bangunan purba ini ada yang berlokasi di daratan dan tak sedikit yang dibangun di daerah pegunungan, seperti Candi Sukuh dan Candi Ceto.

Candi Sukuh

Mungkin dari kita belum banyak menyadari bahkan baru mendengar nama candi sukuh, Candi ini terletak di lereng Gunung Lawu, tepatnya terletak di desa Sukuh, kelurahan Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Kompleks Candi Sukuh berada di ketinggian sekitar kurang lebih 910 meter diatas permukaan laut dan berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Karanganyar. Candi Sukuh berbeda dengan candi-candi yang ada di pulau jawa dikarenakan struktur dari bangunan candi tersebut yang menyerupai bangunan suku Maya di Meksiko atau suku Inca di Peru, serta relif-relif dan ornament yang ada pada dinding candi yang menggambarkan orang bersenggama secara vulgar, serta terpampang dengan jelas relief yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria (penis) yang sedang ereksi, berhadap-hadapan dengan alat kelamin wanita (vagina). Pantas apabila masyarakat setempat menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu).

Menurut sejarah candi sukuh dibangun sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dimana didalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang menganut ajaran Hindu. Candi Sukuh ditemukan sekitar tahun 1815 oleh seorang Residen Surakarta yang bernama Johnson, pada masa pemerintahan Gubernur Raffles.

Struktur bangunan Cndi Sukuh

Candi sukuh terdiri dari tiga teras, dengan teras pertama adalah teras yang paling rendah, diikuti teras kedua dan ketiga yang letaknya makin tinggi, sama seperti candi-candi yang lain semakin tinggi tingkatannya maka semaki suci atau sakral. Masing-masing teras dihubungkan oleh anak tangga dan gapura yang berfungsi sebagai pintu masuk teras.

Pada teras pertama terdapat gapura utama dimana gapura tersebut merupakan gapura terbesar yang mempunyai bentuk arsitektur khas, dimana dinding disusun tidak tegak lurus (vertikal), tetapi miring, sehingga sepintas mengingatkan pada bentuk trapesium dengan atap di atasnya. Pada gapura pertama ini kita bisa menjumpai relief-relief yang membentuk rangkaian gambar yang mengandung cerita dimana pada sisi gapura sebelah utara (kanan) ini terdapat sebuah relif manusia ditelan raksasa. Sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gapura buta abara wong” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Sedangkan pada sisi gapura sebelah selatan (kiri) juga terdapat relif raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gapura buta anahut buntut” yang artinya dalam bahasa Indonesia “Gapura raksasa menggigit ekor ular”, yang merujuk pada sebuah tahun, yakni 1359 Saka atau 1437 Masehi.

Masih pada halaman teras pertama dimana saat kita menaiki anak tangga dalam lorong gapura, kita akan disuguhi relief yang sangat vulgar yang terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan alat kelamin pria (penis) yang berhadapan dengan alat kelamin wanita (vagina). Inilah yang kemudian menjadi cari khas dari Candi Sukuh. Konon menurut cerita yang berkembang dimasyarakat sekitar candi sukuh, apabila seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri untuk melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakan oleh sang istri robek, maka dia merupakan tipe isteri yang setia dan taat pada perintah suaminya. Tapi sebaliknya, jika kainnya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh. Ceriteranya memang ada, tetapi faktanya mungkin tinggal cerita?

Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam, karna tidaklah mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadatan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna. Relief ini mirip lingga-yoni sebuah lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati).

Memasuki teras kedua, kita akan menjumpai sebuah gapura yang ukurannya lebhi kecil dari pada ukuran gapura pertama, akan tetapi sangat disayangkan gapura kedua ini kondisinya sangat memperihatinkan dimana kondisi gapura tersebut dalam keadaan rusak dan tidak beratap lagi, bahkan patung penjaga pintu atau bisa disebut dwarapala yang biasanya terdapat di kanan dan kiri gapura kondisinya sangat memperhatinkan, patung tersebut rusak dan sudah tidak jelas bentuknya. Namun pada gapura ini terdapat sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”, yang merujuk pada sebuah tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama.

Di teras kedua ini juga terdapat semacam dinding bangunan dengan pahatan relief, diantaranya relief yang menggambarkan seorang wanita berdiri menghadapi alat peniup api pada pandai besi. Selain itu juga terdapat relif-relif yang menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini, ada pula relief yang menggambarkan seorang pandai besi yakni gambar seorang laki-laki yang sedang duduk dengan kaki selonjor yang di depannya terletak senjata-senjata tajam seperti keris, tombak dan pisau.

Saat memasuki bagian teras ke tiga yang terletak paling belakang dan paling atas, dan dianggap teras yang paling suci, terdapat beberapa bangunan, termasuk bangunan induk yang berbentuk seperti piramid terpancung dan dianggap yang paling suci. Meski bangunan ini dianggap paling penting dan suci, akan tetapi tidak banyak peninggalan yang terdapat di dalam piramid ini, Bangunan ini tingginya kurang lebih enam meter, dan diatasnya merupakan dataran yang sekarang sudah kosong, kecuali batu berlubang persegi yang bentuknya sepaerti yoni, terletak di tengah-tengah dataran. Selain itu disekitar bangunan utama candi Sukuh terdapat pula patung-patung, batu-batu candi serta relief yang berbentuk binatang dan relief cerita Cudhamala yang merupakan sebutan bagi salah satu tokoh Pandawa.

Candi Ceto



Candi Ceto berada tidak jauh dari komplek Candi Sukuh, tepatnya berada di Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Berada di sekitar kawasan Candi Ceto, kita dapat merasakan suasan seperti di kawasan Pulau Dewata, hal ini dikarnakan suasana tempat dan banguna candi ini yang menyerupai pura yakni tempat peribadatan agama Hindu. Candi yang terletak kurang lebih diketinggian 1.400 meter dari atas permukaan laut ini selain digunakan sebagai obyek wisata juga di pergunakan sebagai tempat peribadatan khususnya masyarakat sekitar candi yang memang mayoritas beragama Hindu, dan tak jarang pula umat Hindu dari berbagai penjuru negri ini kerap kali datang untuk merayakan hari besar keagamaan. Misalkan, pada malam Jumat Kliwon orang-orang beramai-ramai ke candi ceto guna mengantarkan sesaji sekaligus menjalankan ritual tapa brata. Begitu pula di saat hari Nyepi, umat Hindu di Karanganyar memilih melakukan tapa brata penyepian di area candi. Sama seperti tempat-tempat peribadatan agama lain candi ceto sangat disucikan oleh umat Hindu. Tidak sembarang orang atau wisatawan baik asing maupun domestik diizinkan masuk, lebih-lebih mereka yang sedang datang bulan. Masyarakat sekitar mempercayai apabila larangan tersebut dilanggar maka akan berdampak buruk bagi si pelanggar tersebut.

Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi umat Hindu di Karanganyar, bahkan umat Hindu di Nusantara, mengingat bangunan candi di wilayah ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca-arca yang bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos agama Hindu. Ada pula patung Dewi Saraswati yang merupakan simbol kebijaksanaan yang berhiaskan peralatan sembahyang. Bahkan cerita yang berkembang di masyarakat Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai mensucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto. Ini memang sebuah kisah lama yang hingga kini tetap diyakini kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih di area candi, terutama pada halaman delapan kita dapat menemukan arca Sabda Palon, tokoh penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.

Dari sisi arsitektur, candi ini mengingatkan pada kebudayaan Maya dan Aztec kuno di Amerika Tengah. Bangunannya berbentuk punden berundak-undak, seperti halnya Candi Sukuh. Semakin ke belakang maka semakin bertambah tinggi dan sekaligus berarti semakin sakral atau suci. Secara filosofis posisi tempat suci seperti ini menyiratkan keyakinan bahwa gunung adalah suci dan arwah nenek moyang berada di gunung. Kepercayaan seperti ini telah tumbuh dan berkembang lama, sebelum agama Hindu dan Budha berkembang di negeri ini. Keyakinan masyarakat akan posisi gunung sebagai tempat yang suci mencapai puncaknya pada masa kejayaan kerajaan Majapahit. Pada zaman ini, orientasi bangunan suci bukan lagi ke timur-barat, melainkan berpatokan pada gunung. Candi Ceto terbagi ke dalam tiga halaman, mengikuti konsep trimandala (hulu, tengah, dan hilir) dan terdapat duabelas teras. Masing-masing teras ditandai dengan ciri-ciri tertentu, diantaranya ada arca dan relief yang melambangkan ajaran Hindu.

Pada halaman pertama (bawah) terdapat pintu masuk cukup tinggi. Di sini bisa ditemukan dua arca laki-laki yang sedang duduk bersimpuh menghadap ke arah barat, serta satu arca perempuan duduk bersimpuh menghadap ke timur. Teras berikutnya, ditandai dengan tangga masuk dan pada halaman tengah terdapat arca laki-laki. Pada teras ketiga ada bangunan gapura (candi bentar) lumrahnya tempat suci di Bali, dan di teras empat juga terdapat arca laki-laki. Untuk menuju teras lima, mesti melewati tangga masuk dua buah undakan dan di sebelah utara (kiri) ada punden berundak. Bangunan tua itu ditutupi sebuah bangunan kayu beratapkan ijuk. Masyarakat turunan Gunung Lawu menyebut punden berundak itu dengan nama Krincing Wesi serta dipercaya sebagai penunggu kawasan Ceto. Tiap enam bulan, pada hari Selasa Kliwon, di halaman punden digelar satu ritus suci upacara Madasiya. Ritual yang sesajiannya bersaranakan nasi tumpeng, buah, bunga, air, dan dupa tersebut memiliki makna warga Desa Ceto dan sekitarnya menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon agar Krincing Wesi tetap menjaga keselamatan mereka.

Teras enam tak ada peninggalan arkeologi. Memasuki teras ketujuh, pada bagian selatan gapura terdapat tulisan “peling pedamel irikang bu, ku tirta sunya hawaki, ray a hilang, saka kalanya wiku, goh anahut iku 1397” yang artinya “peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang tahun 1397 Saka”. Bila berpijak pada angka tahun yang tertera pada teras ketujuh tersebut, berarti pada tahun 1397 saka atau pada tahun 1475 Masehi atau pada abad ke-15, Candi Ceto telah berdiri kukuh. Masih pada pintu gerbang teras tujuh, pada pintu masuk gapura, di kanan kirinya terdapat arca manusia menghadap ke timur. Sedangkan di halaman tengah terdapat phallus vulva (lingga- yoni) yang dihiasi pahatan cicak, ular, katak, kadal, mimi, ketam, dan belut. Jika dilihat dari konsep ajaran Hindu, simbol ini merupakan wujud penyatuan unsur laki dan perempuan, lambang lingga-yoni sekaligus sebagai simbol kesuburan. Sedangkan dari sudut pandang megalitik, simbol phallus vulva sebagai wahana pemujaan terhadap arwah nenek moyang, roh leluhur yang diistanakan di gunung. Di sebelah timurnya ada tiga buah lingkaran sinar, yang di bagian bawahnya terdapat arca kura-kura di atas burung garuda yang sedang mengembangkan sayapnya. Pada sisi kiri dan kanan arca terdapat tumpukan batu dan di sebelah timurnya terdapat arca laki-laki sedang duduk menghadap ke barat. Di areal ini ada pula arca manusia berdiri menghadap barat, menggambarkan Dwarapala.

Teras delapan dilengkapi rilief kisah Adiparwa serta relief kisah Sudamala serta dua arca Dwarapala. Di teras sembilan dan sepuluh dilengkapi pendopo. Pada teras sebelas, selain ada pendopo, juga ditemukan arca Nayagenggong, yang memiliki kaitan erat dengan kisah Sabda Palon. Sedangkan arca Sabda Palon sendiri ditemukan pada teras duabelas. Di halaman paling atas, yang ditandai dengan gapura masuk dan terdapat bangunan piramida terpancung atau lebih dikenal dengan sebutan trapezium. Jika diteliti lebih mendalam, makna simbolik pahatan-pahatan yang tergambarkan di Candi Ceto itu merupakan simbol kesuburan, mohon kesuburan dan kesejahteraan.
Selengkapnya...

Hak Asasi Manusia dan Idiologi Keamanan Nasional

Oleh: SangKodok



Berbicara tentang idiologi keamanan nasional takkan lepas dari aparat militer yakni TNI dan Polri. Berbagai macam pelanggaran hukum pada saat rezim soeharto berkuasa, aparat milter baik TNI maupun Polri yang tergabung dalam ABRI mempunyai andil dalam berbagai macam pelanggaran Hak Asasi Manusia baik secara langsung atau teang-terangan maupun secara tidak langsung dengan dalih menjaga keamanan dan ketertiban nasional. Militer yang melakukan pelanggaran hukum kadangkala persis seperti bintang di langit, terlihat namun tak dapat disentuh (hukum).

Kesadaran bahwa kita membutuhkan militer yang bekerja sesuai dengan koridor hukum yang ada membuat penelusuran kita terhadap kinerja militer pada masa lalu menjadi kebutuhan sebagai dasar pijakan kritik yang akan disampaikan. Terlebih bahwa sampai dengan saat ini, perubahan di tubuh militer yang berkaitan dengan watak dan sikap belum jauh bergeser dari apa yang ditampilkan pada masa lalu. Rezim telah berganti, namun militer tetap tak mampu merubah karakteristik kerja sesuai dengan tuntutan perubahan yang telah memaksa terjadinya pergantian rezim yang menaungi mereka saat ini.Disini timbul pertanyaan mengapa pihak militer sering kali terlibat dalam berbagai macam pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan keamanan nasional?.

Dalam sebuah negara modern yang demokratis, ketundukan militer kepada otoritas demokratik sipil adalah kemutlakan. Dengan ketundukan kepada otoritas sipil, maka militer telah melampaui fungsi dan wewenangnya, apalagi dengan turut serta pada arena politik. Dengan keuntungan kepemilikan kekuatan represi bersenjata, militer dapat menjadi kekuatan yang bertarung secara tidak fair dalam pentas politik, sehingga muncullah berbagai kekerasan dalam rangka memenangkan pertarungan tersebut. Sesungguhnya militer hanya berfungsi sebagai pertahanan dari serangan musuh, sehingga negara berkewajiban untuk memberikan fasilitas dan pembiayaan dalam rangka mendukung profesionalismenya.

Sebagaimana Winston Churcill berkata bahwa, “Perang adalah hal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal.” Sayangnya, militer di indonesia enggan menerima supremasi sipil, bahkan cenderung meremehkan. Mereka lupa bahwa profesionalisme mereka bukanlah tujuan, namun alat untuk mencapai tujuan dari negara yang dipimpin otoritas demokratik. Militer didesain untuk membantu mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk memerangi warga negaranya degan dalih keamanan.

Dalam konteks Indonesia, ketidakmauan militer mengakui supremasi sipil sangat jelas terlihat pada masa pemerintahan Orde Baru yang notabene adalah pemerintahan militer. Doktrin dwifungsi, manunggal TNI, ABRI masuk desa, sampai ketrelibatan militer dalam musyawarah pimpinan daerah, adalah proses untuk mengukuhkan intervensi dan peran dominasinya dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian bertahan sampai 32 tahun. Pengalaman inilah yang kemudian menghambat proses pengembalian militer pada fungsinya. Dengan dalih mengembalikan stabilitas keamanan nasional melalui tindakan-tindakan kekerasan atau penculikan rezim militer bekerja sebagai mesin-mesin teror, mesin-mesin horor, mesin-mesin parasit, mesin-mesin fasisme. Politik kekerasan dimunculkan, diatur dalam undang-undang dan dipelihara untuk dimunculkan dalam situasi-situasi “ketiadaan kendali”.

Transisi dari Orde Lama menuju Orde baru ditandai dengan perubahan orientasi negara dari yang tadinnya penekanan atas “revolusi” dan anti-imperalisme serta politik mobilisasi massa dengan memanfaatkan pengaruh Soekarno, diubah menjadi prioritas terhadap pertumbuhan ekonomi, investasi asing dan semangat anti komunisme yang tinggi. Militer berhasil melakukan pengendalian sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Militer memastikan kehadirannya sampai ke tingkat desa dengan tugas memelihara keamanan, mengawasi kegiatan pemerintah sipil dan bertindak sebagai pengawas politik.

Pada perkembangan selanjutnya, Soeharto yang telah memegang tampuk kekuasaan politik secara mutlak, semakin memanfaatkan alat-alat represif negara dalam rangka pengamanan kekuasaan politik dan ekonominya. Kepentingan ekonomi-politik telah menyeret Orde Baru menyusun suatu tatanan sosial yang kondusif dan reseptif . Di sinilah proyek rule and order itu bekerja. Aparat teknokrasi bekerja merumuskan karakter masyarakat yang diperlukan untuk kelancaran kepentingan rezim, sementara aparat represif dan ideologis bekerja secara sistematis menghancurkan potensi-potensi kreatif masyarakat baik melalui kekerasan langsung maupun rekayasa, teror dan intimidasi.

Pada kondisi inilah pelanggaran HAM muncul dalam kehidupan masyarakat. Kerakusan kekuasaan berjalan begitu rupa dengan institusi militer sendiri, sehingga mereka tidak mampu membedakan mana peran militer profesional dan mana kepentingan ekonomi politik. Tindak kekerasan militer berlangsung sistemik dan lahir dari rahim kebijakan politik yang represif, bukan sekadar insiden atau tindak indisipliner aparat. Dalam banyak peristiwa, militer menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang memunculkan pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan keamanan negara. Militer juga masuk pada konflik-konflik yang sebenarnya bukan merupakan wewenangnya seperti dalam konflik-konflik perburuhan dimana mereka bukan hanya berperan sebagai saksi dan penjaga dalam aksi perundingan dan pemogokan buruh, namun juga sebagai peserta atau pemain, penengah atau mediator, pengintimidasi dan penangkap atau penahan (kasus Marsinah).

Ketika terjadi pelanggaran HAM, negara menciptakan kisah resmi yang mengabaikan aspek-aspek kebenaran, dan bahkan memalsukan kebenaran yang sesungguhnya. Pernyataan publik tentang realitas nasional, laporan pelanggaran HAM dan terutama penyinkapan kebohongan institusional dipandang tidak subversive. Kalau kasus-kasus itu bocor ke masyarakat, perhatian warga masyarakat akan segera dialikan. Lingkaran kebisuan diciptakan agar masyarakat segera melupakannya. Konsep keamanan nasional digunakan bukan untuk melindungi, melainkan untuk membungkus dan meberikan pembenaran atas pelanggaran HAM.

Sampai dengan hari ini, keterlibatan militer dalam berbagai pelanggaran HAM tidak juga berhenti. Militer sebagai pelanggar HAM ada pada tingkatan sebagai pelaksana kebijakan negara yang berkaitan dengan serangan langsung terhadap penduduk seperti yang terjadi di Aceh, atau terlibat dalam wilayah konflik sipil dimana militer ditempatkan sebagai instrumen yang bertanggungjawab terhadap penghentian konflik. Dalam hal menjalankan fungsi represif negara TNI mengabdikan diri pada prinsip-prinsip stabilitas keamanan nasional yang dianut negara.
Ketika publik mencoba mendesakkan pengadilan HAM atas apa yang terjadi, Militer menolak dengan menyatakan akan mengadili sendiri pada peradilan militer yang sebenarnya tidak lain adalah mekanisme mempertahankan impunitas. Paling telak, publik hanya bisa memaksakan pengadilan koneksitas, yang itu artinya TNI meraih kemenangan karena mekanisme ini tanpa sadar menempatkan militer pada posisi yang berbeda dengan kalangan sipil sehingga mendapat perlakuan khusus dalam proses hukum. Seolah-olah militer bersedia menempuh proses hukum, padahal proses ini telah mengamputasi peran dari Perpu No 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM yang kemudian disempurnakan melalui Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Dalam pandangan filsuf Yunani Aristoteles, “A state exists for the sake of a good life, and not for the sake of life only.” Dengan berpijak pada arguman Aristoteles ini, dapat dipahami bahwa desakan masyarakat terhadap negara untuk mengeliminir dominasi militer dalam pemerintahan karena memang militer bukan didisain untuk mengontrol kehidupan warga negaranya, namun yang utama adalah untuk mendorong lahirnya kesejahteraan warga negara. Dengan demikian upaya untuk menumbuhkan suatu pemerintahan sipil yang mampu mengontrol ruang gerak militer adalah sebuah keharusan. Penting juga pengupayaan penciptaan kehidupan yang demokratis, dimana rule of law terwujud dengan partisipasi rakyat untuk melakukan apa yang disebut David Bethaam sebagai kegiatan popular control over collective decision-making and equality of rights in the exercise of that control.

Kesadaran bahwa kalangan sipil mampu memerintah dan tidak perlu inferior terhadap kaum bersenjata dipastikan mampu mendukung pemulihan politik, dimana segala bentuk pelanggaran HAM oleh militer dapat diadili dan segala bentuk kebijakan yang memberikan payung hukum dan legitimasi terhadap pelanggaran HAM dikoreksi. Tinggal kita yang menentukan, apakah proses ini akan digulirkan lambat atau pun cepat, atau tetap menjadi uthopia. Yang jelas, kita semua muak dengan militer dan pelanggaran HAM-nya dengan mengatasnamakan keamanan nasional.
Selengkapnya...

Kekerasan Dimata Agama

Oleh: SangKodok


Juergensmeyer berpendapat bahwa agama memiliki arti penting bagi aksi-aksi kekerasan, karena agama memberikan pembenaran-pembenaran moral untuk membunuh dan menyajikan gambaran tentang 'perang kosmis' yang menjadikan kalangan aktivis memiliki keyakinan bahwa mereka tengah melaksanakan sekenario-sekenario spiritual.



Kekerasan pada kenyataanya seringkali melibatkan agama, atau setidaknya ajaran agama yang kadangkala sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindak kekerasan, dan oleh karenanya dikenal “kekerasan agama” atau setidaknya “kekerasan atas nama agama”.Kekerasan atas nama agama mengandung paradoks, jika agama diperlakukan sebagai suatu sistim yang menjadi salah satu sumber dari hak asasi manusia. Kekerasan didalam praktek kehidupan beragama terlihat secara empiris historis dan bukan bersifat paradoksal seperti yang terjadi pada tataran struktur budaya dan bahkan sering kali diproduksi terus-menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun tidak serta merta dapat disimpulkan agam-alah yang menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Ia juga menambahkan bahwa gagasan dan gambaran tentang kekerasan tidak hanya menjadi monopoli suatu agama tertentu; bahkan setiap tradisi agama besar (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Sikh dan Buddhis) sering kali terlibat sebagai pelaku-pelaku kekerasan.

Jurgensmayer juga menyatakan tidak adil jika mencap Osama bin Laden sebagai seorang teroris muslim atau mengkarakteristikan Timothy Mc Veigh sebagai seorang teroris Kristen. Mereka melakukan aksi kekerasan karena keyakinan-keyakinan mereka sebagai orang Islam maupun Kristen. Namun, kenyataannya bahwa agama-lah yang melatar belakangi mereka, dan dibalik begitu banyak pelaku kekerasan publik yang sangat beragam, mengindikasikan bahwa semua agama, secara inheren, bersifat revolusioner. Mereka mampu menyediakan sumber-sumber ideologi untuk sebuah pandangan alternatif mengenai tatanan publik.

Didalam pandangan ajaran agama Islam, menurut bapak Saifudin Amin bahwa yang dimaksud dengan kekerasan menurut pandangan agama Islam, yaitu hal–hal atau perbuatan yamg bersifat memaksa, dalam arti kata memaksakan kehendak dengan cara memerintah ataupun permohonan yang harus bahkan wajib untuk dilaksanakan, dan apabila perintah ataupun permohonan tersebut tidak dilakukan dan dilaksanakan maka ada konsekuensi atau tindakan-tindakan yang berupa intimidasi bahkan sampai berupa tindakan kekerasan sekalipun.Beliau juga menjelaskan bahwa agama Islam tidak membolehkan atau mengharamkan tindakan kekerasan walaupun tindakan kekerasan itu dilakukan secara psikis sekalipun, tetapi kita sebagai umat Muslim wajib mengingatkan dan mengajak untuk melakukan kebaikan guna menjalankan kaidah-kaidah agama, sebagaimana dijelaskan dalam Al-quran surat An Nahl ayat 125 yang artinya “Ajaklah kepada syariat Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik dan menarik, serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu betul-betul mengetahui orang yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang sangat mengetahui orang yang mendapat petunjuk”. Selain itu ia menambahkan dengan sabda Rasulullah saw “bahwa tidak ada paksaan dalam beragama”.

Akan tetapi didalam agama Islam meggunakan kekerasan diperbolehkan dalam arti kekerasan itu dipergunakan untuk mempertahankan diri atau hak-hak kita apabila hak-hak kita di intervensi oleh orang lain, jika kita tidak melakukan perlawanan dalam arti kata kita hanya diam saja maka kita berdosa. Allah menjamin apabila kita meninggal dunia dalam mempertahankan diri atau hak-hak kita, Allah menjamin kita masuk surga, karena meninggalnya kita adalah syahid. Hal itu dijanjikan Allah dalam surat As Sajadah ayat 30 yang artinya “Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu”.

Dalam hal untuk mendidik anak, beliau memberikan contoh dalam hal melaksanakan ibadah shalat, Islam mengajarkan bahwa shalat merupakan tiang agama, maka Rasulullah mengajarkan ajaklah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat setelah mereka (anak-anakmu) berusia tujuh tahun, dan jika pada usia sembilan tahun anakmu tidak mau mengerjakan shalat maka peringatkan dengan tegas , dan apabila sampai dengan usia sepuluh tahun, anakmu tidak mau mengerjakan shalat maka pukul-lah mereka (anakmu) dalam arti kata kekerasan yang dilakukan semata-mata untuk kasih sayang dan kebaikan untuk si anak.

Beliau juga menjelaskan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang biasa kita artikan atau kita sebut dengan teroris merupakan orang atau kelompok yang memaksakan kehendaknya agar dituruti, dan apabila tidak dituruti dampaknya dapat berupa ancaman bahkan sampai dengan tindakan kekerasan (merusak fasilitas umum sampai dengan melakukan pemboman). Hal-hal seperti itu tidak diajarkan dalam agama Islam, Islam mengajarkan umatnya untuk menyampaikan sesuatu dengan lemah lembut dan secara bijaksana bukan dengan pedang ataupun senjata.

Pandangan kekerasan di mata agama menurut bapak Anto salah satu intelektual Kristen Menonait kekerasan menurut ajaran agama Kristen harus terlebih dahulu diawali secara internal dalam ajaran Kristen Menonait yang dilandasi kepada ajaran Isa bahwa ajaran yang dibawa oleh Isa sungguh menekankan kepada ajaran kasih sayang, yang intinya dalam ajaran kekeristenan memegang ajaran utama dalam istilah “Kasih” menurut agama Kristen. Hal ini dilandasi dalam Injil Matius 22 ayat 37-40 :”Selain kita harus mengasihi Tuhan Allah, kita juga harus mengasihi antar sesama, seperti mengasihi diri kita sendiri”. Dari ayat tersebut tercermin bahwa sesungguhnya ajaran kekeristenan dicirikan pada satu dasar landasan agama yang menekankan “cinta kasih dan anti kekerasan”. Ada beberapa butir penting tentang ajaran penolakan terhadap kekerasan. “Kamu telah mendengar firman : Mata ganti mata, gigi ganti gigi, Tetapi Aku berkata kepadamu : Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu”. ( Matius pasal 5 ayat 38-39). Yang pada perinsip utamanya ajaran Yesus tidak membolehkan melawan kekerasan dengan kekerasan.

Beliau juga menambahkan sesungguhnya ajaran Menonait memisahkan antara urusan agama dengan urusan negara, akan tetapi dalam realitanya umat beragama ada dalam satu negara, sehingga umat beragama harus tunduk kepada aturan-aturan negara, apabila seseorang melakukan kekerasan untuk mempertahankan diri, dalam ajaran Menonait itu tidak dibenarkan, jadi kita harus mengembalikan kepada negara, dimana negara mempunyai kewajiban untuk mengayomi dan melindungi warga negaranya guna menciptakan keamanan dan ketertiban. Dimana negara mempunyai aturan-aturan hukum yang harus ditegakkan dan dijalankan oleh warga negaranya. Maka ajaran kami tetap berpegang pada ajaran Yesus yang mengajarkan ajaran “Cinta Kasih”. Kekerasan dalam lingkup agama kami, baik untuk menegakan hal-hal yang baik tidak dibenarkan, kekerasan dibolehkan hanya saja kekerasan itu dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, misalnya saja polisi berhak menembak penjahat pada saat-saat yang tepat, hal ini guna menjaga ketentraman.

Sedangkan dalam pandangan ajaran agama Hindu, yang diutarakan oleh bapa Basimin selaku tokoh umat Hindu di Yogyakarta, mengatakan bahwa di dalam ajaran Hindu sendiri kekerasan sama seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa tindakan kekerasan tidak diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan yang pasti. Konsepsi kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut dengan “Haimsah” tidak hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang saja tidak diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan tiga ajaran yang benar yakni : perbuatan yang benar, pikiran yang benar, dan ucapan yang benar. Tiga ajaran inilah yang mencakup kesempurnaan manusia apabila ajaran ini dijalankan, ia juga mengatakan bahwa tingkah laku seseorang dapat dilihat dari ucapannya. Guna menigntropeksi diri, agama Hindu mengajarkan umatnya untuk bertapa diri guna mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan.

Lebih lanjut beliau mengatakan kekerasan boleh dilakukan apabila ada perintah secara langsung dari Tuhan, sebagaimana dikisahkan dalam cerita Mahabarata Yuda, yang mengharuskan Arjuna sebagai seorang ksatria yang diharuskan untuk membunuh keluarga dan saudara-saudaranya guna menegakan kebenaran. Hal ini bukan berarti Arjuna membunuh tanpa ada artinya, akan tetapi karma yang mengharuskan mereka untuk saling bermusuhan bahkan sampai saling membunuh antara Kurawa dengan Panca Pandawa. Dalam cerita ini Arjuna diperintahkan oleh Khrisna (Tuhan itu sendiri yang ber-reinkarnasi dalam bentuk manusia) untuk menumpas kejahatan dan demi tegaknya dharma.

Di dalam kitab umat Hindu dijelaskan bahwa selagi dunia ini dikuasai oleh adharma (perbuatan jahat) yang terus merajalela di dunia ini, “aku akan turun ke dunia dan menjelma sebagai manusia untuk melebur semua perilaku angkara murka, karena perilaku angkara murka tidak akan musnah selagi jasad manusia itu hidup”. Dalam kisah Mahabarata Yuda diatas sangat jelas, kekerasan boleh dilakukan asalkan dengan perintah Tuhan dan semata-mata untuk menegakan dharma. Selain itu beliau juga menjelaskan bahwa ajaran Hindu tidak memperbolehkan menggunakan kekerasan dalam hal mendidik anak, ia mengatakan membentak atau menghardik anak dalam agama Hindu tidak diperkenankan apalagi sampai dengan memukulnya.

Beralih kepada pandangan agama Budha yang diungkapkan Ibu Lusiana, di Wihara Boddhicita Yogyakarta. Ibu Lucia menuturkan bahwa kekerasan itu pada prinsipnya dilarang dan tidak dapat dibenarkan. Karena ajaran agama Budha sendiri melarang adanya kekerasan itu. Dimana dikatakan bahwa konsep kekerasan itu meliputi pikiran, ucapan serta fisik. Begitu juga dengan tindakan-tindakan tekanan secara psikis, dimana hal tersebut masuk dalam kategori kekerasan dalam hal ucapan, seperti yang telah diutarakan diatas itu dalam ajaran Budha tidak dibenarkan.Tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam keadaan membela diri dari serangan yang mengancam nyawa kita. Tetapi konteksnya adalah melakukan pembelaan terhadap diri kita, bukan dalam konteks untuk membalas.

Begitu juga dalam hal untuk mendidik anak. Apabila memang dirasa anak itu sudah tidak bisa diperingatkan dan sudah kelewat batas, maka perlu tindakan tegas untuk menyadarkannya maka tindakan-tindakan fisik diperbolehkan. Tetapi konteksnya bukan kekerasan semata-mata, tetapi kekerasan untuk mendidik. Misalnya saja ketika memang anak itu perlu dipukul oleh orang tuanya, tetapi pukulan itu tidak boleh sampai menimbulkan bekas atau luka serta harus di bagian-bagian yang tidak vital misalnya tangan, atau kaki, dan hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mengingatkan si anak bukan untuk menyakitinya.

Pada prinsipnya tiap-tiap agama itu melarang kekerasan, karena dalam tiap-tiap agama sendiri menginginkan adanya kehidupan yang damai aman dan sejahtera di dunia ini. Dalam poin-poin ajaran tiap-tiap agama sebenarnya terkandung nilai-nilai luhur tentang perdamaian. Sehingga bukan suatu hal yang dibenarkan apabila ada oknum-oknum yang menanamkan tindakan-tindakan kekerasan itu berlandaskan atas nama agama.
Selengkapnya...

Referendum Untuk Yogyakarta

Oleh: SangKodok

Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa hal tersebut tertuang dalam konstitusi yaitu pasal 18B Undang Undang Dasar (UUD) 45 sehingga ada unsulan untuk mengatur keistimewaannya secara lebih rinci dalam Undang-Undang sehingga “sidang rakyat” lima tahunan tidak terus berlangsung


Johan Galtung, dalam artikelnya berjudul “state, capital an civil society: A problem of comunication”, menjelaskan adanya perubahan tata kelola pemerintahan di eropa yang semula dikuasai oleh kerajaan, semakin kompleksnya sistem perekonomian dengan hadirnya kelas baru yang terdiri dari pedagang dan pelaku industri telah mengubah konfigurasi tatakelola pemerintahan dengan mengunakan sistem birokrasi untuk mengatur keberadaan pasar dan melayani warga negara. Pengelolaan negara secara moderen ini berdampak pada banyak negara di eropa dan berbagai belahan dunia meskipun dibeberapa negara masih mempertahankan eksistensi kerajaan. Sebagai contoh Inggris, Jepang, Thailand dan Nepal yang menerapkan negara monarki pada level negara.

Di Indonesia, Yogyakarta merupakan satu-satunya propinsi yang masih menerapkan model kerajaan sehingga memperoleh predikat sebagai daerah istimewa, posisi ini memang sangat istimewa karena pada umumnya posisi monarki ada dalam tinggkatan negara bukan propinsi. Dan yang menjadi ciri khas keistimewaan Yogyakarta yang membudaya sampai saat ini dan menjadi pembeda di sistim Monarki Konstitusional dengan sistem Monarki diYogyakarta adalah, di Yogyakata Sultan Hamengkubowono (HB) yang notabenya adalah raja di Yogyakarta, secara otomatis adala Gubernur Propinsi Yogyakarta, disini peran raja dapat terlibat dalam politik praktis tidak seperti dinegara Monarki lain yang hanya berfungsi sebagai simbol.

Pada bulan April 2007 pada malam acara bakti pertiwi di pagelaran kraton Yogyakarta Sultan HB X, membuat pertanyaan yang sontak membuat kaget masyarakat Yogyakarta, Sultan HB X menyatakan “dengan tulus iklahas beliau tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pernyataan tersebut jelas mematik perdeatan lama soal keistimewaan Yogyakarta yang tak kunjung usai pembahasan Rancangan Undangn-Undangnya (RUU) sebagai payung keistimewaan Yogyakarta di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI)

Untuk Itu Immawan Wahyudi anggota DPRD DIY yang pernah menjadi Sekertaris Panitia Khusus pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta (KY) saat di temui reporter keadilan seusai mengisi kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia untuk menjelaskan posisi (KY) dan dibentuknya RUU (KY) mengugkapkan “Secara Historis Srisultan HB ke IX pada saat sebelum kemerdekaan ditawari oleh pihak belanda untuk menjadi raja se-jawa akan tetapi hal tersebut ditolak oleh HB Ke IX, beliau lebih memilih bergabung dengan Indonesia. Jika saat itu, HB memilih untuk mengikuti tawaran pihak belanda maka Indonesia sudah pasti tidak bisa merdeka pada tanggal 17 agustus 1945.dan kalu dapat merdeka tidak mungkin dengan wilayah geografis yang seperti ini. kemudian hal tersebut juga diwujudkan dengan pengakuan dalam konstitusi UUD 1945.

Saat ini suadah ada UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan yang dirasakan tidak dapat menindak lanjuti keistimewaan Yogyakarta, untuk itu Immawan Wahyudi menambahkan “UU no 32 Tahun 2004, pasal 36 dalam kaitanya denyan DIY maka akan semakin samar atau kabur, dia hanya mengikuti UU no 22 tahun 1999, tentang keistimewaan DIY diatur dalam pasal penjelasan, pasal 122, dalam penjelasan tersebut diterangkan bahwa ada hak asal-usul, dimana hak asal usul gubernur itu di hubungkan dengan kasultanan dan untuk hak wakil gubernur di hubungkan dengan hak asal usul puro pakualaman, tetapi disana tidak eksplisit dalam artian atauran perundang-undangan itu di oprasionalkan secara sederhana ada multi tafsir ada inteperetasi yang tidak sama atas UU ini, ada yang mengatakan bahwa yang mempunyai hak menjadi gubernur adalah sultan yang sedang ‘jumeneng’ (menjabat), itu menurut takdir kraton, menurut takdir awam, siapapun keturunan dari kraton punya hak menjadi gubernur dan siapapun keturunan ari puro pakualaman punya hak menjadi wakil gubernur.

Paling tidak itu sudah ada dua tafsir oleh karena itu sumir untuk bisa diterapkan di eksekusi untuk mengisi jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY, dengan demikin yang harus ditanyakan menghapa pemerintah pusat yang tahu betul menganai eksistensi pemerintahan DIY, selalu mebuat peraturan perundang-undangan yang multitafsir, dengan begitu tidak dapat dioprasionalkan secara mudah, ini harus dipertanyakan apa sebutulnya motifasinya kalau bilang tidak bisa hal tersebut tidak mungkin, karena penuh dengan pakar, kalau dibilang tidak mengerti juga tidak mungkin karena pemerintah pusat punya dokumen sejarah itu tentang DIY amat sangat lengkap, saya berpikir, kalau ada upaya-upaya peraturan perundang-undangan semakin menjauhi dari akar keistimewaan, kalau itu yang terjadi maka UU no 32 tahun 2004 itu sama sekali tidak mencerminkan adanya niatan pemerintah pusat untuk menghargai amanat konstitusi UUD 45 pasal 18 B.dan amandmen UUD 45 tersebut sudah selesai pada tahun 2002 dan UU tahun 32 tahun 2004 itu baru dibuat tahun 2004.

Kalau tidak ada UU nya maka semua hal yang menyangkut pemerintahan daerah mengikuti UU ini, bagaimana dalam penerapannya semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan daerah itu mengikuti peraturan perundang-undangan ini, Artinya bila ada konflik peraturan perundangan dan lain-lain. Tidak bisa sesederhana itu, apakah dengan membuat pasal sapu jagat tersebut selesai, ‘tidak’. UU kan punya ketertiban proses pembuatan dan muatan-muatannya, kalau dia berhadapan dan bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini bertentangan dengan UUD pasal 18B bukan tidak mungkin hal tersebut dapat di Jidicial Reveriuw, yunicom yang ada di daerah tidak dapat di akomodir malah dibunuh, ini akan mengakibatkan semakin tidak jelasnya kebangsaan kita daerah mempunyai Yunicom, dan deerah yang secara konstitusional sudah dihargai sebagai daerah istimewa seperti DIY dan Aceh sudah sepatutnya dimotori oleh pemerintah sendiri bagaimana cara mengimplementasikan itu didalam UU, menurut saya itulah yang melandasi dibentuknya RUU Propinsi DIY.

Hal-hal dasar yang harus tedapat dalam RUU KY ini yang pertama dan utama adalah kedudukan sultan sebagai gubernur atau kepala daerah dan pakualam sebagai wakil gubernur, hal tersebut mau tidak mau harus menjadi konten, apapun fariasi yang diambil, fariasi yang pernah saya sarankan adalah setengah-setengah yaitu setengah untuk costumery law setengahnya lagi untuk demokrasi pemerintahan, dimana sultan sebagai gubernur dan pakualam sebagai wakil gubernur itu tidak usah dipilih, lasung ditetapkan saja setiap lima tahun sekali oleh presiden yang fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat di DIY sebagai pelaksanaan pemerintahaan dalam konteks dekonsentrasi dan kemudian kepala daerah wakil kepala daerah (di daerah tingkat II) dipilih langsung oleh rakyat yang aktornya bisa datang dari siapa saja siapapun boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dan dipilih secara langsung oleh rakyat.

Bisa juga dengan bentuk pemerintahan Monarki Konstitusional seperti di Thailad misalnya raja hanya menjadi simbol tetapi mempunyai hak Veto dan aset-aset kraton harus dikembalikan, saya sungguh meghawatirkan bila di DIY ini dipilih kepala daerah yang semata-mata langsung sebagai mana didaerah atau di propinsi lain karena tanah-tanah yang begitu banyaknya belum memiliki setatus hukum yang jelas(Sultan Ground , dimana kita tahu hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA) tidak bersih dari kecendrungan korupsi, bagaimaan kalau tanah-tanah tersebut diklaim begitu saja ini dapat menghancurkan aset-aset kraton.

Kalau sultan hanya didudukan sebagai simbol maka semua aset kraton yang digunakan oleh kepala daerah harus disewa itu akan menimbulkan biaya yang sangat besar, sebagai konsekuensi ini bayaran dari demokrasi disini persoalan tanah memang sangat rawan.

Kemudian yang ketiga adalah esensi tentang kebudayaan ini bagaimanapun budaya yang dikembangkan adalah budaya yang sejalan budaya DIY, dan ini penting sebagai kemajemukan budaya DIY punya budayanya sendiri daerah lain punya budayanya sendiri, dengan keberagaman itu menjadi kekuatan untuk bangsa ini .

Jadi paling tidak ada tiga yaitu yang pertama pemilihan gubernur, yang kedua adalah tentang pertanahan dan yang ketiga adalah budaya, ada aspirasi juga dari masyarakat dimana pendidikan juga dimasukkan menjadi kontain KY, itu saya rasa berlebihan karena dikota manapun sekarang di galakkan pendidikan sedemikian rupa, jadi hampir tidak ada yang istimewa kecuali hanya namanya sebagai kota pelajar, kalau kita mengeklaim diri bahwa DIY punya pendidikan yang lebih istimewa dari yang lain saya rasa itu juga agak kurang relefan”.

Masalah keistimewaan Yogyakarta juga kami tanyakan kepada bapak Jawahir Tantohwi yang kami jumpai di kantornya. Kami menayakan pandangan beliau tentang keistimewaan DIY bila dilihat dalam prespektif otonomi daerah di Indonesia, beliau berpendapat bahwah keistimewaan DIY bila dilihat dari otonomi daerah harus berangkat dari UU no 3 tahun 1950 sebagai UU pembentukan keistimewaan DIY yang terlalu jauh dari konteks otonomi daerah, karena UU no 3 tahun 1950 merupakan sebuah sertifikat resmi dari lahirnya DIY sebagai bagian dari NKRI. Selain itu yang harus ditegaskan dalam konteks UU no 3 tahun 1950 terdapat ciri-ciri yang khusus bila dibandingkan dengan tempat-tempat lain (provinsi lain), karena UU tersebut merupakan perpanjangan dari amanah UUD 1945 khususnya Pasal 18 sehingga keberadaan Yogyakarta yang istimewa mendapatkan legitimasi secara nasional (secara politik maupun secara yuridis).

Akan tetapi dalam perjalannanya UU tersebut tentu ada problem-problem yang sistematik, misalakan saja ketika UU otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun 1970 sampai dengan munculnya UU no 32 tahun 2005 jelas sudah mengalami perbedaan yang sangat dahsyat. Selain itu pada saat sistem kekuasaan negara kita yang sentralistik, sebelum ada perubahan UUD 1945, sebelum ada UU no 22 tahun 1999, yang kemudian dirubah dengan UU no 32 tahun 2005, maka sebenarnya persoalan yang penting yang kemudian kita soroti dalam konteks otonomi daerah itu sendiri yang merupakan central point dan dalam proses pengakuan keistimewaan yang selama ini dimaknai oleh masyarakat sebagai segi utama dalam proses kepemimpinan yang tidak ada pemilihnya, bisa dikatakan sebagai pengangkatan yang dilakukan oleh DPRD dan diajukan kepada Departemen Dalam Negri (DEPDAGRI) sampai kemudian diangkat oleh Presiden.

Proses penetapan oleh Dwi Tunggal (Sultan dan Pakualaman) merupakan suatu komponen keistimewaan yang legitimet. Dan dalam konteks otonomi daerah hal ini menjadi wacana yang sangat penting, sebab dalam konteks otonomi daerah terdapat sering of power, terdapat distribution of power, terdapat cek and balance, maka tidak bisa tidak proses demokratisasi atau hak untuk memilih dan dipilih merupakan bagian dari kepentingan publik, bagian dari kepentingan warga negara. Oleh sebab itu jika keistimewaan DIY yang menekankan pengangkatan itu sebagai hak preogratif maka secara subtantif, dalam konteks proses demokrasi menjadi sesuatu yang sangat kontradiktif dengan semangat otonomi daerah.

Didalam pilkada DIY yang nantinya akan dilangsungkan, hal ini bukan berarti menderogat atau menjatuhkan martabat ataupun eksistensi keberadaan kesultanan, oleh sebab itu sesunguhnya UU no 3 tahun 1950 tidak menekankan pada kondisi sepirit demokrasi, hal itu tidak sepantasnya untuk dipertahankan, meskipun tidak dipertahankan bukan berarti tidak bagus, akan tetapi, menurut saya pribadi setelah saya kaji UU no3 tahun 1950 misalnya sifat-sifat atau karakteristik kistimewaan Yogyakarta sudah sangat jelas, akan tetapi isi dari UU no3 tahun 1950 memerlukan upaya untuk diakomodasi dengan kepentingan-kepentingan universal, dengan tuntutan-tuntutan lokala dan nasional.

Beliau juga mengatakan lahirnya maklumat 5 september tahun 1945 merupakan sikap kenegarawanan dari sultan HB IX untuk mendeklarasikan politik atau kontrak sosial atau kontrak politik terhadap NKRI. Kenapa saya utarakan begitu, karena sebenarnya dalam konteks hukum internasional bila dihubungkan dengan perjanjian giyanti 1775 sampai dengan perjanjian yang ditanda tangani oleh Gubernur Jendral. Hal itu merupakan sebuah kelangsungan dimana DIY merupakan sebuah daerah otonom atau sebuah state. Misalkan sultan ingin memerdekakan, bukan mustahil DIY merupakan sebuah negara, itu artinya maklumat tersebut merupakan sebuah sikap atau komitmen yang tinggi, yang diberikan oleh sultan kepada NKRI itu artinya mahal harganya, karena sultan mempunyai hak menentukan nasibnya sendiri, yang dijamin oleh piagam PBB Pasal 1 ayat 2. Akan tetapi karena kecintaan sultan terhadap NKRI, dan kecintaan untuk mematuhi atau komitmen pada sumpah pemuda 1928, maka sultan tidak bisa menarik loyalitas tersebut terhadap sumpah-sumpah kepemudaan.

Maklumat 5 september 1945 merupakan wujud kesetiaan sultan yang mahal harganya. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan atau dikatakan oleh sultan HB X yang pada bulan april 2007, menyatakan bahwah beliau tidaka akan menjabat sebagai gubernur DIY. Itu artinya ia menyerahkan persoalan pilkada kepada masyarakat yogyakarta dan UU yang berlaku. Maklumat dan pernyataan sultan HB X pada bulan april 2007 merupkan pakta politik yang subtansinya sama-sama mengutamakan kepentingan bangsa, yaitu agar demokrasi di Yogyakarta berjalan sama dengan daerah-daerah yang lain.

Beliau juga menambahkan UU Keistimewaan untuk DIY memang harus ada, walaupun nantinya pilkada dilangsungkan bukan berarti keistimewaannya hilang, keistimewaan akan tetap ada, akan tetapi modelnya tidak sama dengan sekarang. UU mengenai keistimewaan DIY sedan digodok, dimana terdapat dua versi, dimana khusus DPRD DIY merevisi atau mengamandemen UU no 3 tahun1950. Dan yang ke dua adanya konsep dari DEPDAGRI yang bekerja sama dengan jurusan ilmu politik dan pemerintahan UGM menekankan lebhi memberikan makna lebhi pasti, kontekstual, sistematik mengenai keistimewaan DIY.

Beliau juga menambahkan jogja merupakan tempat dimana sebuah kota yang kaya akan multi etnicnya, karena jogja merupakan tempat dimana pendidikan dikembangkan, jika asumsi kita berangkat dari pendidikan dan kebudayaan maka siapa pun gubernurnya saya kira mereka akan patuhi serlama pemilihan berlangsung secara legitimet (jujur, adil, benar) walaupun masyarakat-masyarakat di pedesaan mashi mengidealkan Dwi Tunggal tersebut. Akan tetapi perlu diingat dari jejak pendapat memang 70 % masyarakat DIY menginginkan keistimewaan, akan tetapi 40 % lebhi masyarakat DIY tidak lagi menginginkan sultan menjabat sebagai gubernur, dalam konteks demokrasi 40 % suara masyarakat DIY harus menjadi bahan pertimbangan.

Persoalan yang harus dihadapi sekarang adalah jika pada bulan oktober mendatang RUU DIY baik sudah disahkan atau belum,tentu akan terjadi problem ketika RUU sudah disahkan tetapi persoalan sosialisasi terhadap masyarakat belum cukup, maka distu ada masa transisi untuk mengisi kekosongan. Ada beberapa pihak yang berpendapat jika terjadi kekosongan sultan boleh mengisi kekosongan dengan catatan sultan harus mengawasi peroses demokrasi tersebut. Akan tetapi saya punya pandangan lain jika kekosongan terjadi sultan tidak boleh menjabat sebagai gubernur lagi walaupun pada saat masa transisi, akan tetapi sultan dapat menunjuk pejabat sementara untuk mengisi kekosongan, hal ini yang nantinya sultan ajukan kepada presiden, disinilah letak hak prerogratif sultan.

Hal tersebut juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh bapak Sapto Hadi yang kami jumpai di kantornya tepatnya kelurahan selaku tokoh masyarakat, beliau mengomentari bahwah sepengetahuan bilau RUU KY ini lahir karena dilatar belakangi semata-mata untuk mengembalikan roh keistimewaan DIY keawal atau keasal dimana keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bergabung menjadi bagian dari NKRI dan untuk mendukung eksistensi NKRI, walaupun harus mengorbankan adat istiadat, budaya maupun sistem pemerintahan keraton DIY itu sendiri. Pada saat gabungnya DIY kedalam NKRI penggabungan tersebut berjalan secara darurat dan tidak diselesaikan secara tuntas mengenai keistimewaan DIY dalam NKRI. Beliau menambahkan jangan sekali kali mengambil kesimpulan bahwah keistimewaan DIY dikarenakan gubernurnaya adalah sultan dan wakil gubernurnya adalah pakualam. Akan tetapi, yang dimkaksud dengan keistimewaan DIY adalah bagaimana rakyat DIY menyusun perogram kerja sesuai kultur DIY dengan tetap dalam kerangka NKRI

Beliau juga menambahkan bahwa pemilihan sultan menjadi gubernur janganlah disalah artikan maksudnya bahwa pengangkatan sultan menjadi gubernur bukan karna adanya grend design dimana adanya keterlibatan para aktor-aktor politik lokal yang disebabkan akibat rentetan konflik politis maupun kultur balas dendam pada rezim kekuasaan yang merasa sakit hati karena dipaksa meletakan tahta kekuasaan setelah gerakan reformasi atau yang terkenal dengan prosesi pesowanan agung melainkan karena sikap yang dilakukan oleh sultan untuk mencoba mengkeritisi terhadap situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.
Selengkapnya...

17 AGUSTUS

Oleh: SangKodok


Merah Putihku berkibarlah sepanjang masa
Kami anak-anak bangsa akan selalu menjagamu
Takkan perna ada yang mengusikmu selagi kami merah
Takkan perna ada noda selagi kami putih

Hembusan angin takkan membuatmu goyah
Terpaan hujan takkan membuatmu luntur
Siang dan malam kau berkibar dengan gagah
Tak kenal lelah menjaga negri ini

Gelora semangat yang kau kobarkan
Membuat kami tak terkalahkan
Tiangmu tinggi menjulang angkasa
Membuat kami merasa perkasa



Wahai merah putih ku
Merahkan lah semangat di dadaku
Putihkan lah niat suciku
Walaupun sekarang kau menangis
Melihat anak-anak negri yg semakin sinis
Berjiwa pengkhianat dan penghancur negri

Wahai merah putihku
Takkan kubiarkan kau terkoyak dan hina
Takkan ku biarkan kau menjadi lemah
Kau ku bela ntuk selamanya
Selengkapnya...

Parpol Solusi atau Beban

Oleh: SangKodok




Sepuluh tahun sudah era reformasi berjalan di Indonesia berbagai macam partai politik tumbuh subur dan berkembang bak jamur di musim hujan, yang seakan-akan partai politik merupakan sebuah usaha baru, dari yang mulai agamis sampai nasionalis.Memang parpol merupakan salah satu tiang utama dalam setiap demokrasi. Parpol juga diidealkan sebagai wadah bagi pelembagaan kepemimpinan yang demokratis, media pendidikan politik bagi masyarakat, dan sebagai miniatur pluralitas masyarakat, partai juga berfungsi sebagai pengendali konflik Akan tetapi setelah sepuluh tahun kita berada di jalur reformasi dimana demokrasi sangat di junjung tinggi ada rasa ketidak percayaan pada diri saya pribadi kepada para elit politik maupun partai politik, saya menggangap bahwa partai politik hanya sebuah usaha bukan sebuah solusi yang diharpkan dapat membawa 220 juta lebhi masyarakat Indonesia kearah yang selam ini telah di cita-citakan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Saya pribadi menilai bahwa partai politik pada saat ini tidak jauh sebagai beban yang dihadapkan kepada masyarakat, dan saya pribadi mengharapkan bukan hanya saya sendiri yang merasakan bahwa partai politik pada saat ini hanya menjadi beban ketimbang solusi, hal ini saya lihat dari prilaku dan performa partai politik. Pertama partai kita umumnya miskin visi tentang perubahan sehingga yang muncul akhirnya retorika dan slogan yang hampir sama bagi semua partai. Hampir semua partai bicara tentang persatuan, keadilan, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat, tetapi tak pernah jelas bagi masyarakat, apa perbedaan konsep keadilan partai yang satu dengan lainnya. Begitu pula partai bicara demokrasi dan pemerintahan yang bersih, tetapi tidak punya agenda spesifik, operasional, dan implementatif tentang bagaimana demokrasi yang terkonsolidasi diwujudkan, dan korupsi diberantas. Akibatnya, yang berlangsung adalah kecenderungan politisi untuk bersembunyi di balik simbol kultural-ideologis serta retorika dan slogan yang bersifat "membodohi" ketimbang mencerdaskan masyarakat.

Kedua, merosotnya etika dan moralitas politik ke titik paling rendah menjadi kecenderungan yang paling memprihatinkan di balik realitas perilaku partai dewasa ini. Ketiadaan etika itu pula yang bisa menjelaskan fenomena maraknya kasus korupsi dan politik uang di kalangan partai, legislatif, dan eksekutif, di pusat dan daerah dewasa ini.

Ketiga, partai yang mestinya merupakan organisasi modern dan rasional berkembang menjadi semacam paguyuban bagi mobilitas vertikal para elite politik yang saling bersaing dalam mempersembahkan loyalitasnya terhadap sang pemimpin atau ketua umum partai. Tidak ada upaya melembagakan tradisi berorganisasi secara rasional, demokratis, dan bertanggung jawab karena tidak jarang keputusan dan pilihan politik ditentukan secara sepihak oleh segelintir elite atau bahkan seorang pemimpin partai. Konflik internal partai besar umumnya bersumber pada pelanggaran "aturan main" dan penafsiran subyektif AD/ART partai sehingga tiap saat para aktivis partai yang memihak kepentingan publik bisa disingkirkan atas nama "disiplin partai".

Keempat, kita bisa melihat pada hampir semua partai besar yang tengah menikmati kekuasaan saat ini lebhi mengedepankan berkembangnya kepemimpinan yang personal dan oligarkis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mungkin merupakan contoh paling tepat karena hampir semua pilihan politik ke-dua partai ini yang pada akhirnya harus kembali atau berpulang kepada keputusan akhir Megawati bagi PDI-P dan Abdurrahman Wahid bagi PKB. Tak mengherankan jika penentuan calon kepala daerah, bupati, dan wali kota harus melalui "restu" ketua umum (PDI-P) atau ketua dewan syuro (PKB).

Jika kita bercermin pada sejarah, keteladanan yang telah ditunjukkan para elite pergerakan di masa lalu mungkin bisa menjadi dasar optimisme kita melembagakan kehidupan partai yang lebih etis, bermoral, dan bertanggung jawab. Seperti diketahui, partai pada era kolonial merupakan sebuah wadah pendidikan dan pencerdasan terhadap masyarakat dan bangsa dari pembodohan politik yang dilakukan kolonial. Organisasi partai pula yang menjadi tempat bagi para bapak bangsa memberikan kontribusi terbaik mereka, dalam rangka mencari dan menemukan identitas keindonesiaan maupun membebaskan bangsa dari kolonialisme. Meskipun sejak awal pertumbuhannya terpolarisasi secara ideologis, hal itu tidak mengurangi besarnya kontribusi dan peranan partai dalam memberi pencerahan politik bagi bangsa dan masyarakatnya.

Hampir semua tokoh penting bangsa kita tumbuh dan besar dari lingkungan organisasi pergerakan dan parpol. Soekarno, Moh Hatta, HOS Tjokroaminoto, Sutan Sjahrir, dan banyak lagi yang hampir tidak pernah berpikir tentang diri sendiri kecuali mengabdikan seluruh jiwa dan raganya bagi kejayaan Ibu Pertiwi. Tokoh pergerakan rela keluar-masuk bui atau dibuang dan diasingkan dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya demi pembebasan dan kemerdekaan bangsanya.

Partai politik masih merupakan wadah perjuangan bagi banyak tokoh terbaik bangsa pada era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an. Partai Sosialis Indonesia (PSI), meski tidak memperoleh suara signifikan dalam Pemilu 1955, merupakan wadah bagi para intelektual terkemuka yang berorientasi sosialisme-demokrasi pada masa itu. Begitu pula Partai Masyumi, menjadi wadah tokoh-tokoh terkemuka beraliran Islam, Partai Katolik bagi cendekiawan Katolik, dan PNI bagi tokoh-tokoh beraliran nasionalis.

Kehancuran partai politik di Indonesia berawal saat Soekarno mengintroduksi Demokrasi Terpimpin akhir tahun 1950-an, lalu dilanjutkan Soeharto selama sekitar 30 tahun. Otoritarianisme yang begitu panjang (1959-1998) bukan hanya membunuh setiap potensi kepemimpinan yang tumbuh dari bawah dan mewariskan sikap saling curiga dan prasangka buruk antar komponen masyarakat, tetapi juga virus oportunisme yang merajalela. Ironisnya, beraneka virus warisan rezim otoriter itu justru masih diwariskan pada partai-partai politik pada saat ini, dan mereka dengan banganya menggobral dan melantunkan kata-kata reformasi dan demokratisasi.

Karena itu, potret kusam partai di Indonesia dewasa ini bukanlah gejala yang berdiri sendiri. Secara mendasar dapat dikatakan, namun tetap perlu diperdebatkan kebenarannya, wajah partai dan politisi partai bisa jadi merupakan bagian dari carut-marut wajah bangsa. Sebab, dalam era transisi dewasa ini, perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kepemimpinan yang lebih etis dan bertanggung jawab, serta demokrasi yang terkonsolidasi, tampaknya tak bisa dipercayakan sepenuhnya kepada partai dan politisi partai saja.

Diperlukan dukungan dan apresiasi masyarakat terhadap tiap ide dan gagasan pembaruan yang berorientasi perbaikan terus-menerus atas kehidupan bangsa. Ironisnya, dukungan dan tekanan publik bagi berlangsungnya perubahan politik ke arah yang lebih signifikan itu justru makin melemah selama beberapa tahun terakhir. Para mahasiswa demonstran, misalnya, tidak begitu tertarik isu pemilu yang sebenarnya jauh lebih strategis bagi masa depan bangsa ketimbang isu suksesi kepemimpinan yang sering ditumpangi kepentingan politik yang bisa membatalkan seluruh agenda reformasi dan demokratisasi.

Salah satu jalan keluar yang bisa ditawarkan bagi upaya peningkatan kualitas etika dan moralitas partai adalah mendorong kepedulian dan keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam segenap proses politik. Termasuk di dalamnya partisipasi masyarakat dalam meminimalkan kecurangan pemilu, melawan politik uang, "menghukum" partai dan politisi yang tidak bertanggung jawab dengan cara tidak memilihnya dan tentu saja membangun jaringan kerja sama di antara berbagai unsur masyarakat prodemokrasi itu sendiri. Toh, akhirnya masa depan demokrasi ada di tangan masyarakat, bukan partai.
Selengkapnya...

Akankah PBB Bernasip Sama Dengan LBB?

Oleh: SangKodok

Kekacauan yang melanda benua Eropa diawal abad yang lalu ketika dalam Perang Dunia I (PD I) yang hampir kuarang lebih menewaskan 10 juta jiwa umat manusia telah berakhir, masyarakat duniapun membentuk dan mendirikan sebuah organisasi internasional yang berfungsi mengatur kehidupan bersama.Yakni sebuah organisasi bangsa-bangsa atau yang disebut League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa) pada tahun 1919. Selama berdirinya, LBB selalu berperan aktif dan turut serta dalam menyelesaikan berbagai masalah-masalah internasional. Hingga pada saat meletusnya Perang Dunia II (PD II) pada tahun 1939, dimana Jerman dengan kekuatan partai NAZI-nya berusah untuk menguasai Eropa. LBB pun akhirnya bubar. Setelah PD II berakhir masyarakat internasional membentuk sebuah organisasi atau lembaga baru yang menggantikan peran LBB dimana organisasi tersebut dinamai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang cakupan organisasinya tidak hanya di lingkup benua Eropa saja akan tetapi suluruh penjuru dunia mulai dari masalah Kashmir (1948) sampai Perang Korea (1950-1953) hingga sengketa Irian Barat (1962).

PBB mempunyai tugas utama berdasarkan Piagam PBB, dimana tugasnya memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Selama empat puluh lima tahun di awal keberadaannya, PBB dirasakan sangat tidak berdaya akibat perang dingin yang terjadi. Namun sejak tahun 1990, di mana telah terjadi pencairan suhu politik global, PBB telah menjadi aktif kembali. PBB memiliki Dewan Keamanan (DK) tetap yang berangotakan 5 (lima) negara yang menang dalam PD II antara lain adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Rusia, dan China.

DK mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain membantu menyelesaikan sengketa secara damai, membentuk dan mengatur pasukan penjaga keamanan PBB, dan mengambil langkah-langkah khusus terhadap negara atau pihak-pihak yang tidak patuh terhadap keputusan DK PBB dengan artian kata menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Akan tetapi pada kenyataannya, hal ini sangat bertolak belakang, banyak permasalahan yang menyebabkan ketidakefektifan dari fungsi DK tersebut. Sebagai contoh, pemegang hak veto dari negara anggota tetap mempunyai kekuatan untuk membendung setiap keputusan yang akan berdampak merugikan bagi kepentingan mereka ataupun sekutunya masing-masing.

Agresi Israel terhadap Palestina yang sedang terjadi sampai saat ini serta dukunga AS terhadap Israel, dan tidak adanya kejelasan penyelesaiannya membuktikan bahwa ada ketidakefektifan dan ketidak tegasan dari DK PBB dalam hal menyikapi konflik Israel-Palestina, padahal kecaman dari berbagai penjuru dunia sedang marak menuntut ketegasan dari semua negara untuk menghakhiri kerisis kemanusiaan yang telah menewaskan warga sipil sekitar 800 jiwa lebih yang diantaranya adalah anak-anak dan mencederai 3000 orang. Coba anda bayangkan, jika atas nama kepentingan nasional tiap negara boleh mengabaikan PBB dan mengajak sejumlah negara lain untuk menyerbu negara lain, lantas bagaimana kehidupan di bumi yang hanya satu dan milik bersama ini?.

Jika kita melihat fakta diatas dimana LBB bubar dikarnakan tidak bisa menghentikan PD II, maka tidak ada salahnya jika saya mewacanakan pembubaran PBB dengan merujuk pada kasus Israel-Palestina yang tak perna kunjung usai dan digantikan dengan sebuah lembaga internasional baru yang akan lebih berdaya guna, lebih demokratis, lebih kokoh, dan lebih mencerminkan kepentingan komunitas internasional. Karena pada saat ini yang dibutuhkan oleh masyarakat internasional adalah DK yang dapat melihat permasalahan sejak dini, lembaga yang dapat menghalangi dan mencegah terjadinya serangan antara negara-negara, serta lembaga yang mampu menjadi perantara dalam melaksanakan penyelesaian. Bukan sebuah lembaga diplomatik-kosmetik yang bisa ditekan-tekan, dikendalikan, bahkan diinjak-injak oleh siapa pun. Dengan kata lain, sebuah badan dunia yang benar-benar mampu mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan secara adil dan beradab, dan yang tak kalah pentingnya lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan, karena dengan perbedaan yang ada kita bias saling melengkapi.

selainitu apabila tercipta suatu lembaga baru, lembaga yang menggantikan PBB diharapkan kedudukan sebagai "anggota tetap" tidak akan lagi dimonopoli oleh bekas negara-negara besar pemenang PD II, tetapi (sebagaimana pernah diusulkan Indonesia) lebih mencerminkan semangat egaliter. Jika perlu kategori "anggota tetap" ditiadakan dan diganti kategori lain yang sifatnya tidak monopolistik maupun permanen.
Selengkapnya...