Mei 29, 2010

SUDAH SEHARUSNYA BANTUAN HUKUM DI BERIKAN

Oleh: SangKodok

A. Latar Belakang

Sejak lahir ke dunia, manusia telah berinteraksi dengan manusia lainnya dalam suatu tempat dan wadah yang bernama masyarakat, baik itu antar individu maupun atar kelompok. Sejarah interaksi antar sesama manusia adalah masa yang paling sederhana pada fase-fase primitive, dan bahkan interaksi itu masih tetap digunakan hinga sekarang guna mencapai kepentingan masing-masing baik itu individual maupun kelompok. Berkembangannya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangan masyarakat, telah menimbulkan berbagai macam multi kepentingan dimasyarakat, sehingga meyebabkan kebutuhan manusia juga berkembang dan beragam.
Dalam perkembanagannya, akibat yang ditimbulkan oleh sebuah interaksi sosial, maka timbulah ketimpangan-ketimpangan yang muncul akibat perbedaan kepentingan, sehingga mengharuskan suatu kelompok untuk membuat peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa dan mengatur guna melindungi hak-hak ataupun kepentingan orang lain. Ini merupakan sebuah bentuk kesadaran dalam diri manusia atau kelompok untuk menghargai hak-hak orang lain.
Fakta sejarah menunjukan bahwa dengan adanya kepentingan-kepentingan dari sebuah interaksi sosial dan dengan adanya aturan dalam sebuah kelompok yang pada akhirnya memaksa timbulnya sebuah kelompok besar (dibaca negara) merupakan sebagai salah satu latar belakang utuk melindungi manusia yang lemah. Menurut Thomas Hobbes manusia merupakan serigala bagi manusia yang lain. Argument Hobbes merupakan suatu realita pada saat itu, karna didasari oleh manusia yang lemah ditindas oleh manusia yang lebih kuat. Karenanya negara dibutuhkan untuk melindungi manusia-manusia yang lemah, dimana alat perlindungan bagi manusia dilaksanakan melalui alat negara yakni dengan menciptakan peragkat hukumnya. Masyarakat yang tertinggal secara ekonomi merupakan pihak yang lemah dalam dialektika kehidupan.
Merujuk pada fase perkembangan ekonomi dan politik, dapat kita lihat kelas yang paling lemah adalah kelas yang tidak menguasai alat-alat produksi. Kemunculan teorinya Adam Smith dan David Ricardo melalui Wealth of Nation merupakan salah satu akibat munculnya kesenjangan ekonomi. Teori liberalisasi yang diinginkannya menciptakan kondisi manusia harus melakukan kompetisi dengan manusia lainnya dalam kepentingan ekonomi.
Karl Marx muncul dengan gagasan teori sosialisme, yang mengkritik teorinya Adam Smith menyatakan bahwa kompetisi telah membawa proses kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi bagi masyarakat. Karna letak masalahnya ada pada penguasaan alat-alat produksi sehingga penguasa alat-alat produksi (dibaca:pemilik modal) memiliki bargaining position yang tinggi, sehingga menimbulkan potensi penindasan terhadap kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi. Marx menganalisis lebih jauh tentang hubungannya dengan Negara, dimana negara merupakan aktor yang bisa memaksa masyarakat untuk mematuhi setiap garis kebijakan atau aturan-aturan yang telah diciptakan. Oleh karenanya keberpihakan negara pada rakyat miskin sangat diperlukan. Kritikan Marx sampai pada dataran yang lebih jauh yakni masyarakat miskin ditindas oleh negara. Masyarakat miskin tertindas oleh ragam multidimensional.
Pada zaman kegelapan, masyarakat di benua eropa hidup dalam kungkungan ketertindasan serta kemiskinan. Mereka hidup terbelakang dibandingkan masyarakat di tempat lainnya. Renaissance yang kemudian datang mengubah eropa dan memberi banyak kontribusi untuk perkembangan ide-ide negara dan hukum pada saat itu. Tindakan sewenang-wewenang para raja di eropa pada masa kegelapan merupakan latar belakang lahirnya ide-ide akan perubahan sosial, yang pada kenyataannya melahirkan sebuah gagasan-gagasan atau teori baru mengenai hubungan kekuasaan negara dan rakyat. Apresiasi dan respon progresif rakyat terhadap tata cara bernegara juga berakibat menguatnya ide-ide perlunya mewujudkan dan melindungi hak-hak asasi manusia.
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Salah satu ciri negara hukum juga tidak dapat dilepaskan dari peran negara dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.
Tujuan hukum sendiri yang lebih popular kita dengar adalah mendapatkan keadilan, namun ada satu pertanyaan besar yang perlu kita berikan. Adakah keadilan itu berlaku bagi semua orang? Atau keadilan hanya didapatkan oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan. Hukum dalam realita (das sein) masih saja kita temukan keberpihakannya kepada golengan elit. Sehingga dikatakan oleh para kalangan kritikus hukum bukan lagi berfungsi sebagai instrument pengendalian sosial. Tetapi sebagai alat bagi penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya.
1. Negara Hukum
Negara hukum adalah sebuah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemeberi suara rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat). Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi dan berdasarkan hukum. Menurutnya yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang akan menetukan baik buruknya suatu hukum. Immanuel Kant menggambarkan negara hukum berfungsi sebagai penjaga malam, artinya tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar jangan digagnggu dan dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ikut campur tangan, negara hanya sebagai Nachwaster Staat. Teori pemikiran ini dapat dikatakan teori pemikiran negara hukum liberal.
Pengertian negara hukum bila kita kaji dari beberapa filosof sangat beragam, hal ini disebabkan karena terus berkembangnya ilmu pengetahuan. Lain lagi halnya dengan A.V Dicey, salah seorang pemikir Inggris yang termahsyur, mengemukakan tiga unsur utama pemerintah yang kekuasaannya di bawah hukum (the rule of law) yakni Supremacy of Law, Equality Before the Law dan Constitution Based on Individul Rights. Dari rumusan A.V Dicey tersebut jelas mengisyaratkan pengakuan adanya kedaulatan hukum atau supremasi hukum untuk mencegah adanya kekuasaan-kekuasaan yang bersifat pribadi, baik berasal dari perorangan atau segolongan manusia.
Ismail Sunny menyimpulkan bahwa suatu masyarakat baru dapat disebut berada di bawah the rule of law, bila ia memili syarat-syarat esensial tertentu, antara lain harus terdapat kondisi-kondisi minimum dari suatu system hukum dimana HAM dan hukum dihormati.
Dalam symposium menegenai negara hukum yang pernah diadakan di Jakarta pada tahun 1966 dalam keputusan symposium tersebut ciri khas negara hukum adalah:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaandalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
3. Legalitas dalam artian hukum dalam segala bentuknya.
Membahas negara hukum juga tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan demokrasi. Adapun hubungan antara hukum dengan demokrasi pada hakikatnya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak dan berkarakter demokratis, sedangkan di negara yang otoriter atau non-demokratis akan lahir hukum hukum non-demokratis.
2. Hukum dan Kekuasaan
Secara sederhana, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Geselchaft (1982) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kamauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini. Seiring dengan itu, Miriam Budiarjo merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum, demikian juga sebaliknya hukum memiliki arti penting bagi kekuasaan. Di satu pihak, hukum adalah kekuasaan atau wewenang legal, di pihak lain hukum itu adalah aturan-aturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, termasuk tingkah laku para penyelenggara Negara. Hubungan hukum dan kekuasaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hukum adalah Kekuasaan
Tata tertib atau aturan-aturan dalam masyarakat tidak akan terwujud tanpa adanya kekuasaan yang lebih kuat baik dari kekuasaan segala individu ataupun golongan. Kekuasaan yang demikian disebut sebagai aturan hukum, dimana seolah-olah termasuk kekuatan-kekuatan fisik dan batin dari seluruh masyarakat. Hukum pada asasnya adalah kekuasaan, karena sebagai alat pengatur dalam masyarakat, hukum tidak dapat mengikuti suara hati tiap-tiap individu, lebih-lebih karena ada juga manusia yang tidak memiliki suara hati atau mempunyai suara hati yang luas.
Hukum adalah kekuasaan tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. hukum adalah kekuasaan akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. Sebagai contoh, seorang pencuri menguasai barang curian. Ia berkuasa atas barang curiannya itu, tetapi penguasaannya itu tidak dilindungi hukum, karena ia tidak memiliki hak atas barang itu.
b. Hukum Sebagai Dasar Legalitas Kekuasaan sekaligus Mengatur dan Membatasi Kekuasaan
Dalam masyarakat yang diatur oleh hukum, kekuasaan yang ada pada orang-orang hanya bisa diberikan melalui hukum. Berdasar pada hukum, kekuasaan dibagi-bagikan dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya diberikan kepada orang atau individu, melainkan juga kepada badan atau kumpulan orang-orang, seperti kekuasaan dibidang kenegaraan.
Disini harus dibedakan kekuasaan sebagai konsep yang murni dengan kekuasaan yang diatur oleh hukum. Kekuasaan yang murni tidak bisa menerima batasan-batasan, sedangkan kekuasaan yang diatur hukum merupakan sesuatu yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur memperolehnya dan pertanggung jawabannya.
Oleh karena itu hukum memberikan pembatasan-pemabatasan yang demikian, maka institusi hukum itu hanya bisa berjalan dan berkembang dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.
c. Kekuasaan adalah Sarana untuk Membentuk Hukum Sekaligus Instrumen Penegakannya
Suatu aturan dikatakan sah apabila dibuat oleh lembaga yang berwenang. Karena itu kekuasaan dikatakan sebagai sarana untuk membentuk hukum sekaligus instrumen penegakannya. Kekuasaan merupakan alat untuk penegakan hukum, tanpa adanya kekuasaan maka hukum tidak dapat ditegakkan. Karena itu dapat dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.
3. Keadilan Untuk Rakyat Miskin
Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan “Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut mengisyaratkan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara. Bunyi pasal ini juga sesuai dengan asas dalam hukum yaitu equality before the law.
Banyak penjahat kriminal dengan banyak tuduhan, seperti melarikan diri ketika masih dalam pemeriksaan, terbuktinya pelaku utama kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), atau kasus-kasus lainnya, divonis hanya belasan tahun. Banyak juga kita lihat di lapangan para pejabat negara yang sudah terbukti bersalah masih saja dapat bebas berkeliaran.
Akan tetapi lain halnya dengan masyarakat kecil seperti maling sandal atau pencuri ayam yang belum tentu cukup bukti namun majelis hakim menolak untuk atas permintaan penangguhan penahan terdakwa. Perbedaan penerapan hukum antara orang besar dengan orang kecil, kaya dan miskin akan semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum di Indonesia. Belum lagi halnya dalam tahanan, orang kaya atau pejabat mendapatkan ruang tahanan yang khusus sedangkan rakyat miskin mendapatkan perlakuan yang tidak pada tempatnya.
Adalah benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum secara naïf, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan memberikan perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan, singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam masyarakat. Apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik, bahkan niat jahat.
Sadjipto Raharjo menyatakan dalam bukunya Sisi lain Hukum di Indonesia, salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi “permainan”. Yang dimaksud dengan permainan di sini adalah menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri. Dengan demikian tujuan hukum untuk memberikan keadilan telah mengalami kemorosotan menjadi permainan.
Bila kita kaji apa yang dikatakan oleh Satjipto rahardjo sangat beralasan, mengingat dalam dunia realitas seolah-olah hukum hanya menjadi permainan para elit. Sedangkan bagi rakyat miskin dituntut untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan. Fenomena mafia peradilan telah menghentakkan dunia hukum di negeri kita. Sehingga saat ini telah muncul lembaga yang mengawasi perilaku hakim untuk menciptakan lembaga peradilan yang bersih dan sehat.
Para pengacara, yang tidak hentinya terus mengutak-atik hasil keputusan pengadilan. Dari banding, kasasi hingga peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA). Tersirat bagi kita para pengacara bukan lagi mencari keadilan akan tetapi berusaha agar memenangkan kliennya sehingga menaiki harkat sebagai pengacara yang handal. Tentunya dikemudian hari dapat menambah pendapatan bagi mereka. Beda halnya dengan rakyat kecil dan miskin yang tidak mampu membayar pengacara sehingga mereka “terpaksa” pasrah pada hasil kepeutusan majelis hakim.
Keadilan merupakan hak semua orang tanpa kecuali. Hak tersebut merupakan hak warga negara yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Karenanya perlu pendidikan moral bagi aparatur hukum. Perlu adanya cita-cita pembangunan hukum. Meskipun berat untuk mewujudkan namun keadilan harus tetap ditegakkan. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan akses keadilan bagi siapapun termasuk bagi rakyat miskin.
Hukum sendiri dipandang sebagai norma-norma yang bersumber dari masyarakat (kumpulan semua individu) dengan maksud untuk menegakkan keadilan (justice). Ini berarti dasar keberadaan negara yang berdasarkan hukum adalah negara yang ditujukan untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian kewajiban utama negara berdasarkan hukum adalah menegakkan keadilan.

B. Tinjauan Umum Bantuan Hukum
Persoalan bantuan hukum dalam artian yang luas, yang berarti bantuan hukum yang diberikan oleh Advokat dan procureur dimuka persidangan Pengadilan Negeri sebenarnya bukanlah barang baru bagi kita. Masalah yang demikian sebenarnya sudah cukup lama dikaji dalam pelajaran hukum acara pidana dan acara perdata atau dalam hubungannnya dengan tugas dan wewenang peradilan, namun hingga sekarang masalah ini rupanya masih tetap menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut baik dalam konteksnya dengan usaha penegakan hukum maupun hak asasi manusia.
Sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat suatu rumusan yang tepat mengenai apa yang sebenarnya, dengan yang dimaksud dengan bantuan hukum itu. Secara konvensional di negara kita sejak dahulu bantuan hukum ini diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh seorang Advokat terhadap clientnya baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana di muka pesidangan, walaupun istilah ini kurang begitu populer dipergunaan pada masa lampau. Bagi negara kita istilah ini baru dipopulerkan sekitar tahun 1964 semenjak dikeluarkannya undang undang No. 19/1964 yang secara tegas mengatur tentang masalah bantuan hukum.
Istilah bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah yang berbeda yaitu “Legal Aid” dan “Legal Assistance”. Istilah Legal Aid biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang hukum kepada seorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis yang pada khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Sedangkan pengertian Legal Assistance dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum oleh para Advokat yang mempergunakan honorarium.
1. Bantuan Hukum Di Indonesia
Bantuan hukum di Indonesia sesungguhnya bukanlah hal baru. Diskursus mengenai hal ini sudah lama berkembang dikalangan para pemerhati hukum di negeri ini. Dari masa pra kemerdekaan hingga sampai sekarang, permasalahan bantuan hukum masih selalu tetap relevan untuk dijadikan bahan kajian diantara grand tema isu-isu hukum yang lain. Hal ini cukup beralasan karena bantuan hukum selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan hukum itu sendiri.
Perkembangan bantuan hukum di Indonesia mulai memasuki babak baru ketika di era tahun 70-an. Babak baru tersebut dimulai ketika berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution dkk. Selain karena mengusung konsep baru dalam pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia LBH Jakarta juga dianggap sebagai cikal bakal bantuan hukum yang terlembaga yang dikatakan paling berhasil pada masa itu. Hingga tak pelak Pendirian lembaga bantuan hukum ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai macam dan bentuk organisasi dan wadah bantuan hukum di Indonesia. Seorang peneliti asing, Daniel S. Lev mencatat diawal tahun 1980-an terdapat hampir seratus organisasi yang terlibat dalam bantuan hukum dalam beragam macam jenisnya.
Semakin berkembangnnya wacana dan berbagai macam konsep bantuan hukum di Indonesia sesungguhnya merupakan jawaban terhadap adanya kebutuhan rakyat terhadap hal tersebut. Sebagian besar rakyat Indonesia yang masih dibawah garis kemiskinan dan buta hukum mendorong tumbuhnya kesadaran disebagian kalangan yang concern mengenai hal ini untuk mencari formula yang ampuh untuk mengatasi permasalahan tersebut. Advokat sebagai aktor utama dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum memiliki peran yang strategis untuk merealisasikannya. Kenyataan ini terkait dengan tugas dan tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat yang membutuhkan bantuannya.
Perubahan konsep dalam pemberian bantuan hukum juga sangat mempengaruhi kemajuan program bantuan hukum di Indonesia. Konsep bantuan hukum tradisional yang dahulu dipakai ternyata tak mampu menjawab semua permasalahan yang terjadi di lapangan, sehingga memunculkan konsep baru yaitu konsep bantuan hukum konstitusional untuk menutupi kelemahan bantuan hukum yang bersifat tradisional. Lambat laun konsep bantuan hukum konstitusional pun “dimodifikasi” dengan memperkenalkan gerakan bantuan hukum struktural yang dimotori oleh lembaga bantuan hukum (LBH) yang mengubah paradigma bantuan hukum yang semula bersifat kultural menjadi aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat.
2. Bantuan Hukum Struktural
Ketimpangan sosial diberbagai bidang kehidupan yang ada di masyarakat mulai dari hukum, politik, sosial, budaya, ekonomi dll tentunya membuat ironi sekaligus miris, banyak wacana yang dikumandangkan oleh para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, namun alih alih memperbaiki keadaan malah justru menjadikan masyarakat miskin sebagai obyek wacana, termasuk sebagaian besar penegak hukum termasuk Advokat. Sangat jarang kita melihat dan mendengar Advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma pada simiskin, kalaupun ada biasanya dikarenakan adanya sorotan luas oleh media massa, dan dapat memberikan keuntungan popularitas bagi Advokat.
Untuk itu kita coba mengangkat kembali wacana tentang bantuan hukum struktural, yang sudah sangat jarang untuk diwacanakan kembali, kalaupun ada hanya dalam kalangan terbatas dikantor kantor lembaga bantuan hukum, padahal bantuan hukum struktural adalah konsep yang harus dimengerti dan dijalankan oleh Advokat diseluruh Indonesia.
Bantuan hukum struktural, bukanlah konsep bantuan hukum yang tidak mempunyai landasan konstitusional. Sesungguhnya bantuan hukum struktural adalah konsep yang lahir atas dasar pemahaman yang mendalam tentang tujuan kita bermasyarakat yang sebetulnya hendak memerdekakan bangsa dalam arti sesungguhnya, tidak lagi dijajah, karena penjajahan itu tidak bisa dibenarkan. Untuk jelasnya mari kita baca alenia pertama dari pembukaan Undang Undang Dasar 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”
Kita sekarang bisa bertanya apa sebetulnya, makna “kemerdekaan” yang ditulis dalam alenia pertama dan apa pula kaitannya dengan “keadilan sosial” yang menjadi tujuan kita bernegara? Secara khusus tidak ada penjelasan, tapi sudah pada tempatnya jika kita menafsirkan kemerdekaan dalam arti yang luas, bukan saja kemerdekaan dari belenggu penjajahan fisik bangsa asing tetapi justru kemerdekaan dari segala bentuk penindasan politik, hukum, ekonomi, dan budaya.
Dalam konteks itu kita berbicara mengenai bantuan hukum struktural yang lahir sebagai konsekuensi dari pemahaman kita terhadap hukum. Realitas hukum yang kini kita hadapi adalah produk dari sebuah proses-proses sosial yang terjadi di atas pola hubungan tertentu di antara infra struktur masyarakat yang ada. Hukum sebenarnya merupakan super struktur yang senantiasa berubah dan yang merupakan hasil interaksi di antara infra struktur masyarakat. Oleh karena itu selama pola hubungan di antara infra struktur menunjukkan gejala yang timpang maka hal yang demikian itu akan semakin mempersulit terwujudnya hukum yang adil.
Dalam hal itu maka sebenarnya ketidakadilan, penindasan, yang amat sering kita jumpai di tengah masyarakat tidak bersumber pada faktor adanya tingkah laku individu yang menyimpang dari norma-norma hak asasi akan tetapi bersumber pada faktor adanya pola hubungan sosial yang timpang itu.
Dengan demikian bantuan hukum struktural berarti merupakan rangkaian program baik melalui jalan hukum maupun jalan halal lain yang diarahkan bagi perubahan pada hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Hal ini merupakan pra syarat bagi pengembangan hukum yang memberikan keadilan bagi mayoritas kaum miskin di Indonesia. Ini berarti konsep bantuan hukum structural dikembangkan dalam konteks pembangunan masyarakat adil dan makmur.
3. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan yang banyak diwacanakan oleh berbagai kalangan akhir akhir ini sebetulnya telah menjadi perdebatan sejak masa lalu, ketimpangan sebagai dampak dari dianutnya sistem ekonomi kapital oleh rezim rezim pemerintahan di Indonesia menjadikan hampir seluruh sumber daya alam dikuasai oleh perusahaan korporasi asing, sekaligus membuat masyarakat Indonesia menjadi buruh di negerinya sendiri.
Kemiskinan ini, lebih jauh adalah warisan sejarah masa silam, estafet penjajahan yang berabad abad dan sekarang dilanjutkan lagi dengan penjajahan bentuk baru (neokolonialism) sebagai akibat dari kekuatan ekonomi, politik, teknologi, militer dan informasi dari dunia industri ke dunia miskin.
Karena kemiskinan yang kita perbincangkan disini bersifat struktural, sebetulnya pembicaraan mengenai kemiskinan juga jadi struktural. Kita tidak bisa lagi menggunakan pendapatan perkapita untuk mengukur kemiskinan, karena bisa saja seseorang itu pendapatan per kapitanya melampaui garis batas kemiskinan tetapi secara struktural ia adalah orang yang jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, terasing dari kemungkinan partisipasi. Mereka yang miskin ini kalau boleh kita mengutip teori Johan Galtung adalah mereka yang diluar “pusat” (center) yaitu mereka yang berada di “pinggiran” (peri phery).
Jadi, dalam situasi perkembangan politik dan masyarakat dewasa ini, kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa kemiskinan hanya sebatas pada kekurangan materi semata, namun lebih dari itu sebagian besar masyarakat miskin karena disebabkan oleh faktor keterbelakangan mereka dalam memahami hak hak mereka baik sebagai warga masyarakat sekaligus sebagai subyek hukum.
4. Bantuan Hukum Sebagai Hak Asasi Manusia
Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 34 UUD 1945 di mana di dalamnya ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk di bela Advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Dan pada perkembangannya meskipun telah di amandemen empat kali, Dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD’45) sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia, pasal pasal tentang perlindungan terhadap Hak hak asasi manusia selalu terjamin, tidak terkecuali dengan jaminan terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang termaktub dalam pasal 28D UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Oleh karena itu, Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh negara dan bukan belas kasihan dari negara, hal ini penting karena sering kali bantuan hukum diartikan sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil, karena itu sebuah keharusan.