Mei 29, 2010

Referendum Untuk Yogyakarta

Oleh: SangKodok

Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa hal tersebut tertuang dalam konstitusi yaitu pasal 18B Undang Undang Dasar (UUD) 45 sehingga ada unsulan untuk mengatur keistimewaannya secara lebih rinci dalam Undang-Undang sehingga “sidang rakyat” lima tahunan tidak terus berlangsung


Johan Galtung, dalam artikelnya berjudul “state, capital an civil society: A problem of comunication”, menjelaskan adanya perubahan tata kelola pemerintahan di eropa yang semula dikuasai oleh kerajaan, semakin kompleksnya sistem perekonomian dengan hadirnya kelas baru yang terdiri dari pedagang dan pelaku industri telah mengubah konfigurasi tatakelola pemerintahan dengan mengunakan sistem birokrasi untuk mengatur keberadaan pasar dan melayani warga negara. Pengelolaan negara secara moderen ini berdampak pada banyak negara di eropa dan berbagai belahan dunia meskipun dibeberapa negara masih mempertahankan eksistensi kerajaan. Sebagai contoh Inggris, Jepang, Thailand dan Nepal yang menerapkan negara monarki pada level negara.

Di Indonesia, Yogyakarta merupakan satu-satunya propinsi yang masih menerapkan model kerajaan sehingga memperoleh predikat sebagai daerah istimewa, posisi ini memang sangat istimewa karena pada umumnya posisi monarki ada dalam tinggkatan negara bukan propinsi. Dan yang menjadi ciri khas keistimewaan Yogyakarta yang membudaya sampai saat ini dan menjadi pembeda di sistim Monarki Konstitusional dengan sistem Monarki diYogyakarta adalah, di Yogyakata Sultan Hamengkubowono (HB) yang notabenya adalah raja di Yogyakarta, secara otomatis adala Gubernur Propinsi Yogyakarta, disini peran raja dapat terlibat dalam politik praktis tidak seperti dinegara Monarki lain yang hanya berfungsi sebagai simbol.

Pada bulan April 2007 pada malam acara bakti pertiwi di pagelaran kraton Yogyakarta Sultan HB X, membuat pertanyaan yang sontak membuat kaget masyarakat Yogyakarta, Sultan HB X menyatakan “dengan tulus iklahas beliau tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pernyataan tersebut jelas mematik perdeatan lama soal keistimewaan Yogyakarta yang tak kunjung usai pembahasan Rancangan Undangn-Undangnya (RUU) sebagai payung keistimewaan Yogyakarta di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI)

Untuk Itu Immawan Wahyudi anggota DPRD DIY yang pernah menjadi Sekertaris Panitia Khusus pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta (KY) saat di temui reporter keadilan seusai mengisi kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia untuk menjelaskan posisi (KY) dan dibentuknya RUU (KY) mengugkapkan “Secara Historis Srisultan HB ke IX pada saat sebelum kemerdekaan ditawari oleh pihak belanda untuk menjadi raja se-jawa akan tetapi hal tersebut ditolak oleh HB Ke IX, beliau lebih memilih bergabung dengan Indonesia. Jika saat itu, HB memilih untuk mengikuti tawaran pihak belanda maka Indonesia sudah pasti tidak bisa merdeka pada tanggal 17 agustus 1945.dan kalu dapat merdeka tidak mungkin dengan wilayah geografis yang seperti ini. kemudian hal tersebut juga diwujudkan dengan pengakuan dalam konstitusi UUD 1945.

Saat ini suadah ada UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan yang dirasakan tidak dapat menindak lanjuti keistimewaan Yogyakarta, untuk itu Immawan Wahyudi menambahkan “UU no 32 Tahun 2004, pasal 36 dalam kaitanya denyan DIY maka akan semakin samar atau kabur, dia hanya mengikuti UU no 22 tahun 1999, tentang keistimewaan DIY diatur dalam pasal penjelasan, pasal 122, dalam penjelasan tersebut diterangkan bahwa ada hak asal-usul, dimana hak asal usul gubernur itu di hubungkan dengan kasultanan dan untuk hak wakil gubernur di hubungkan dengan hak asal usul puro pakualaman, tetapi disana tidak eksplisit dalam artian atauran perundang-undangan itu di oprasionalkan secara sederhana ada multi tafsir ada inteperetasi yang tidak sama atas UU ini, ada yang mengatakan bahwa yang mempunyai hak menjadi gubernur adalah sultan yang sedang ‘jumeneng’ (menjabat), itu menurut takdir kraton, menurut takdir awam, siapapun keturunan dari kraton punya hak menjadi gubernur dan siapapun keturunan ari puro pakualaman punya hak menjadi wakil gubernur.

Paling tidak itu sudah ada dua tafsir oleh karena itu sumir untuk bisa diterapkan di eksekusi untuk mengisi jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY, dengan demikin yang harus ditanyakan menghapa pemerintah pusat yang tahu betul menganai eksistensi pemerintahan DIY, selalu mebuat peraturan perundang-undangan yang multitafsir, dengan begitu tidak dapat dioprasionalkan secara mudah, ini harus dipertanyakan apa sebutulnya motifasinya kalau bilang tidak bisa hal tersebut tidak mungkin, karena penuh dengan pakar, kalau dibilang tidak mengerti juga tidak mungkin karena pemerintah pusat punya dokumen sejarah itu tentang DIY amat sangat lengkap, saya berpikir, kalau ada upaya-upaya peraturan perundang-undangan semakin menjauhi dari akar keistimewaan, kalau itu yang terjadi maka UU no 32 tahun 2004 itu sama sekali tidak mencerminkan adanya niatan pemerintah pusat untuk menghargai amanat konstitusi UUD 45 pasal 18 B.dan amandmen UUD 45 tersebut sudah selesai pada tahun 2002 dan UU tahun 32 tahun 2004 itu baru dibuat tahun 2004.

Kalau tidak ada UU nya maka semua hal yang menyangkut pemerintahan daerah mengikuti UU ini, bagaimana dalam penerapannya semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan daerah itu mengikuti peraturan perundang-undangan ini, Artinya bila ada konflik peraturan perundangan dan lain-lain. Tidak bisa sesederhana itu, apakah dengan membuat pasal sapu jagat tersebut selesai, ‘tidak’. UU kan punya ketertiban proses pembuatan dan muatan-muatannya, kalau dia berhadapan dan bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini bertentangan dengan UUD pasal 18B bukan tidak mungkin hal tersebut dapat di Jidicial Reveriuw, yunicom yang ada di daerah tidak dapat di akomodir malah dibunuh, ini akan mengakibatkan semakin tidak jelasnya kebangsaan kita daerah mempunyai Yunicom, dan deerah yang secara konstitusional sudah dihargai sebagai daerah istimewa seperti DIY dan Aceh sudah sepatutnya dimotori oleh pemerintah sendiri bagaimana cara mengimplementasikan itu didalam UU, menurut saya itulah yang melandasi dibentuknya RUU Propinsi DIY.

Hal-hal dasar yang harus tedapat dalam RUU KY ini yang pertama dan utama adalah kedudukan sultan sebagai gubernur atau kepala daerah dan pakualam sebagai wakil gubernur, hal tersebut mau tidak mau harus menjadi konten, apapun fariasi yang diambil, fariasi yang pernah saya sarankan adalah setengah-setengah yaitu setengah untuk costumery law setengahnya lagi untuk demokrasi pemerintahan, dimana sultan sebagai gubernur dan pakualam sebagai wakil gubernur itu tidak usah dipilih, lasung ditetapkan saja setiap lima tahun sekali oleh presiden yang fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat di DIY sebagai pelaksanaan pemerintahaan dalam konteks dekonsentrasi dan kemudian kepala daerah wakil kepala daerah (di daerah tingkat II) dipilih langsung oleh rakyat yang aktornya bisa datang dari siapa saja siapapun boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dan dipilih secara langsung oleh rakyat.

Bisa juga dengan bentuk pemerintahan Monarki Konstitusional seperti di Thailad misalnya raja hanya menjadi simbol tetapi mempunyai hak Veto dan aset-aset kraton harus dikembalikan, saya sungguh meghawatirkan bila di DIY ini dipilih kepala daerah yang semata-mata langsung sebagai mana didaerah atau di propinsi lain karena tanah-tanah yang begitu banyaknya belum memiliki setatus hukum yang jelas(Sultan Ground , dimana kita tahu hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA) tidak bersih dari kecendrungan korupsi, bagaimaan kalau tanah-tanah tersebut diklaim begitu saja ini dapat menghancurkan aset-aset kraton.

Kalau sultan hanya didudukan sebagai simbol maka semua aset kraton yang digunakan oleh kepala daerah harus disewa itu akan menimbulkan biaya yang sangat besar, sebagai konsekuensi ini bayaran dari demokrasi disini persoalan tanah memang sangat rawan.

Kemudian yang ketiga adalah esensi tentang kebudayaan ini bagaimanapun budaya yang dikembangkan adalah budaya yang sejalan budaya DIY, dan ini penting sebagai kemajemukan budaya DIY punya budayanya sendiri daerah lain punya budayanya sendiri, dengan keberagaman itu menjadi kekuatan untuk bangsa ini .

Jadi paling tidak ada tiga yaitu yang pertama pemilihan gubernur, yang kedua adalah tentang pertanahan dan yang ketiga adalah budaya, ada aspirasi juga dari masyarakat dimana pendidikan juga dimasukkan menjadi kontain KY, itu saya rasa berlebihan karena dikota manapun sekarang di galakkan pendidikan sedemikian rupa, jadi hampir tidak ada yang istimewa kecuali hanya namanya sebagai kota pelajar, kalau kita mengeklaim diri bahwa DIY punya pendidikan yang lebih istimewa dari yang lain saya rasa itu juga agak kurang relefan”.

Masalah keistimewaan Yogyakarta juga kami tanyakan kepada bapak Jawahir Tantohwi yang kami jumpai di kantornya. Kami menayakan pandangan beliau tentang keistimewaan DIY bila dilihat dalam prespektif otonomi daerah di Indonesia, beliau berpendapat bahwah keistimewaan DIY bila dilihat dari otonomi daerah harus berangkat dari UU no 3 tahun 1950 sebagai UU pembentukan keistimewaan DIY yang terlalu jauh dari konteks otonomi daerah, karena UU no 3 tahun 1950 merupakan sebuah sertifikat resmi dari lahirnya DIY sebagai bagian dari NKRI. Selain itu yang harus ditegaskan dalam konteks UU no 3 tahun 1950 terdapat ciri-ciri yang khusus bila dibandingkan dengan tempat-tempat lain (provinsi lain), karena UU tersebut merupakan perpanjangan dari amanah UUD 1945 khususnya Pasal 18 sehingga keberadaan Yogyakarta yang istimewa mendapatkan legitimasi secara nasional (secara politik maupun secara yuridis).

Akan tetapi dalam perjalannanya UU tersebut tentu ada problem-problem yang sistematik, misalakan saja ketika UU otonomi daerah yang telah berlangsung sejak tahun 1970 sampai dengan munculnya UU no 32 tahun 2005 jelas sudah mengalami perbedaan yang sangat dahsyat. Selain itu pada saat sistem kekuasaan negara kita yang sentralistik, sebelum ada perubahan UUD 1945, sebelum ada UU no 22 tahun 1999, yang kemudian dirubah dengan UU no 32 tahun 2005, maka sebenarnya persoalan yang penting yang kemudian kita soroti dalam konteks otonomi daerah itu sendiri yang merupakan central point dan dalam proses pengakuan keistimewaan yang selama ini dimaknai oleh masyarakat sebagai segi utama dalam proses kepemimpinan yang tidak ada pemilihnya, bisa dikatakan sebagai pengangkatan yang dilakukan oleh DPRD dan diajukan kepada Departemen Dalam Negri (DEPDAGRI) sampai kemudian diangkat oleh Presiden.

Proses penetapan oleh Dwi Tunggal (Sultan dan Pakualaman) merupakan suatu komponen keistimewaan yang legitimet. Dan dalam konteks otonomi daerah hal ini menjadi wacana yang sangat penting, sebab dalam konteks otonomi daerah terdapat sering of power, terdapat distribution of power, terdapat cek and balance, maka tidak bisa tidak proses demokratisasi atau hak untuk memilih dan dipilih merupakan bagian dari kepentingan publik, bagian dari kepentingan warga negara. Oleh sebab itu jika keistimewaan DIY yang menekankan pengangkatan itu sebagai hak preogratif maka secara subtantif, dalam konteks proses demokrasi menjadi sesuatu yang sangat kontradiktif dengan semangat otonomi daerah.

Didalam pilkada DIY yang nantinya akan dilangsungkan, hal ini bukan berarti menderogat atau menjatuhkan martabat ataupun eksistensi keberadaan kesultanan, oleh sebab itu sesunguhnya UU no 3 tahun 1950 tidak menekankan pada kondisi sepirit demokrasi, hal itu tidak sepantasnya untuk dipertahankan, meskipun tidak dipertahankan bukan berarti tidak bagus, akan tetapi, menurut saya pribadi setelah saya kaji UU no3 tahun 1950 misalnya sifat-sifat atau karakteristik kistimewaan Yogyakarta sudah sangat jelas, akan tetapi isi dari UU no3 tahun 1950 memerlukan upaya untuk diakomodasi dengan kepentingan-kepentingan universal, dengan tuntutan-tuntutan lokala dan nasional.

Beliau juga mengatakan lahirnya maklumat 5 september tahun 1945 merupakan sikap kenegarawanan dari sultan HB IX untuk mendeklarasikan politik atau kontrak sosial atau kontrak politik terhadap NKRI. Kenapa saya utarakan begitu, karena sebenarnya dalam konteks hukum internasional bila dihubungkan dengan perjanjian giyanti 1775 sampai dengan perjanjian yang ditanda tangani oleh Gubernur Jendral. Hal itu merupakan sebuah kelangsungan dimana DIY merupakan sebuah daerah otonom atau sebuah state. Misalkan sultan ingin memerdekakan, bukan mustahil DIY merupakan sebuah negara, itu artinya maklumat tersebut merupakan sebuah sikap atau komitmen yang tinggi, yang diberikan oleh sultan kepada NKRI itu artinya mahal harganya, karena sultan mempunyai hak menentukan nasibnya sendiri, yang dijamin oleh piagam PBB Pasal 1 ayat 2. Akan tetapi karena kecintaan sultan terhadap NKRI, dan kecintaan untuk mematuhi atau komitmen pada sumpah pemuda 1928, maka sultan tidak bisa menarik loyalitas tersebut terhadap sumpah-sumpah kepemudaan.

Maklumat 5 september 1945 merupakan wujud kesetiaan sultan yang mahal harganya. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan atau dikatakan oleh sultan HB X yang pada bulan april 2007, menyatakan bahwah beliau tidaka akan menjabat sebagai gubernur DIY. Itu artinya ia menyerahkan persoalan pilkada kepada masyarakat yogyakarta dan UU yang berlaku. Maklumat dan pernyataan sultan HB X pada bulan april 2007 merupkan pakta politik yang subtansinya sama-sama mengutamakan kepentingan bangsa, yaitu agar demokrasi di Yogyakarta berjalan sama dengan daerah-daerah yang lain.

Beliau juga menambahkan UU Keistimewaan untuk DIY memang harus ada, walaupun nantinya pilkada dilangsungkan bukan berarti keistimewaannya hilang, keistimewaan akan tetap ada, akan tetapi modelnya tidak sama dengan sekarang. UU mengenai keistimewaan DIY sedan digodok, dimana terdapat dua versi, dimana khusus DPRD DIY merevisi atau mengamandemen UU no 3 tahun1950. Dan yang ke dua adanya konsep dari DEPDAGRI yang bekerja sama dengan jurusan ilmu politik dan pemerintahan UGM menekankan lebhi memberikan makna lebhi pasti, kontekstual, sistematik mengenai keistimewaan DIY.

Beliau juga menambahkan jogja merupakan tempat dimana sebuah kota yang kaya akan multi etnicnya, karena jogja merupakan tempat dimana pendidikan dikembangkan, jika asumsi kita berangkat dari pendidikan dan kebudayaan maka siapa pun gubernurnya saya kira mereka akan patuhi serlama pemilihan berlangsung secara legitimet (jujur, adil, benar) walaupun masyarakat-masyarakat di pedesaan mashi mengidealkan Dwi Tunggal tersebut. Akan tetapi perlu diingat dari jejak pendapat memang 70 % masyarakat DIY menginginkan keistimewaan, akan tetapi 40 % lebhi masyarakat DIY tidak lagi menginginkan sultan menjabat sebagai gubernur, dalam konteks demokrasi 40 % suara masyarakat DIY harus menjadi bahan pertimbangan.

Persoalan yang harus dihadapi sekarang adalah jika pada bulan oktober mendatang RUU DIY baik sudah disahkan atau belum,tentu akan terjadi problem ketika RUU sudah disahkan tetapi persoalan sosialisasi terhadap masyarakat belum cukup, maka distu ada masa transisi untuk mengisi kekosongan. Ada beberapa pihak yang berpendapat jika terjadi kekosongan sultan boleh mengisi kekosongan dengan catatan sultan harus mengawasi peroses demokrasi tersebut. Akan tetapi saya punya pandangan lain jika kekosongan terjadi sultan tidak boleh menjabat sebagai gubernur lagi walaupun pada saat masa transisi, akan tetapi sultan dapat menunjuk pejabat sementara untuk mengisi kekosongan, hal ini yang nantinya sultan ajukan kepada presiden, disinilah letak hak prerogratif sultan.

Hal tersebut juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh bapak Sapto Hadi yang kami jumpai di kantornya tepatnya kelurahan selaku tokoh masyarakat, beliau mengomentari bahwah sepengetahuan bilau RUU KY ini lahir karena dilatar belakangi semata-mata untuk mengembalikan roh keistimewaan DIY keawal atau keasal dimana keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bergabung menjadi bagian dari NKRI dan untuk mendukung eksistensi NKRI, walaupun harus mengorbankan adat istiadat, budaya maupun sistem pemerintahan keraton DIY itu sendiri. Pada saat gabungnya DIY kedalam NKRI penggabungan tersebut berjalan secara darurat dan tidak diselesaikan secara tuntas mengenai keistimewaan DIY dalam NKRI. Beliau menambahkan jangan sekali kali mengambil kesimpulan bahwah keistimewaan DIY dikarenakan gubernurnaya adalah sultan dan wakil gubernurnya adalah pakualam. Akan tetapi, yang dimkaksud dengan keistimewaan DIY adalah bagaimana rakyat DIY menyusun perogram kerja sesuai kultur DIY dengan tetap dalam kerangka NKRI

Beliau juga menambahkan bahwa pemilihan sultan menjadi gubernur janganlah disalah artikan maksudnya bahwa pengangkatan sultan menjadi gubernur bukan karna adanya grend design dimana adanya keterlibatan para aktor-aktor politik lokal yang disebabkan akibat rentetan konflik politis maupun kultur balas dendam pada rezim kekuasaan yang merasa sakit hati karena dipaksa meletakan tahta kekuasaan setelah gerakan reformasi atau yang terkenal dengan prosesi pesowanan agung melainkan karena sikap yang dilakukan oleh sultan untuk mencoba mengkeritisi terhadap situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.