Mei 29, 2010

Meyegarkan Pemikiran Dunia Pendidikan

Oleh: SangKodok



Pendidikan pada zaman sekarang sudah menjadi sebuah kebutuhan pokok yang wajib untuk setiap manusia, karena pendidikan ialah sistem prose perubahan menuju pendewasaan, pencerdasaan, dan pematangan diri dimana setiap individu-individunya mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang. Pendidikan wajib bagi siapa saja, kapan saja dan dimana saja, karena menjadi dewasa, cerdas, dan matang adalah hak asasi manusia pada umumnya. Hal ini berbeda pada zaman-zaman dahulu (sebelum bangsa kita merdeka) dimana pendidikan hanya diperuntukan dan diperbolehkan untuk golongan masyarakat yang strata sosialnya lebhi tinggi (bangsawan pribumi maupun orang-orang eropa). Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dan berjalannya waktu dan hilangnya pemerintahan yang bersifat kolonial, pemerintah Indonesia mulai mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun (SD dan SMP) dan mewajibkan pendidikan untuk segala lapisan masyarakat baik masyarakat menegah atas maupun masyarakat menegah kebawah. Hal ini sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang dituangkan dalam mukhadimah UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Akan tetapi didalam kenyataannya upayah untuk mewujudkan dan mencapai insan yang cerdas, mandiri, kreatif dan berdaya saing global seperti yang sering diselogkan oleh pemerintah selama ini sangat tidak sesuai untuk diapresiasikan sebagai penjabaran terhadap Konstitusi dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasaional (Sisdiknas). Hal ini dapat kita lihat, dimana kenyataannya bahwah sekolah hanya dijadikan temapat untuk mencetak tenaga kerja yang hanya bisa membaca, menulis dan berhitung. Selain itu banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan tujuan dan cita-cita bangsa, Misalnya saja dalam menentukan kebijakan soal masalah Ujian Nasional (UN) dimana dalam kebijakan pemerintah tersebut, banyak ketidak pastian pemerintah dalam menjalankan Konstitusi dan Undang-Undang Pendidikan.

Ujian Nasional bisa kita bilang sangat bertolak belakang bila dilihat dari semangat pembebasan, karena kita semua dapat menilai bahwa hampir seluruh siswa tidak lagi belajar untuk menuntut ilmu, melainkan orientasinya hanya semata-mata untuk mendapatkan nilai yang bagus dan lulus pada mata pelajaran yang diujikan. Disini siswa hanya menjadi sebuah robot setelah masuk sekolah, sebab para siswa harus memenuhi tuntutan kurikulum dari pemerintah agar bisa disebut sukses atau berhasil disekolah. Bahkan tak jarang kita bisa melihat banyak guru yang terjebak pada target dan tuntutan agar seluruh siswanya dapat lulus ujian, dan tak jarang pula guru sering kali terjebak pada buku yang menutup ruang eksplorasi untuk anak didiknya, sehingga terjadi perkosaan terhadap dunia pendidikan.

Sebetulnya payung hukum dibidang pendidikan di Indonesia suda sangat sedemikian kuat menunjukan komitmen untuk mewujudkan generasi bangsa yang cerdas, akan tetapi dalam perkteknya mashi banyak yang belum dijalankan, selain itu pendidikan pada saat ini cenderung menghambah pada kurikulum tanpa mempertimbangkan subyek atau pelaku (siswa dan guru) sehingga acap kali dilanggar, misalnya saja dalam hal jaminan penyelenggaraan pendidikan yang bebas dari biaya, bermutu dan berkuwalitas.

Setidaknya dalam hal untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan berkuwalitas harus ada pembenahan yang mengarahkan pendidikan dengan maksud dan tujuan pada pencerdasan bangsa, yakni guru dan kurikulum. Dimana kuwalitas guru harus benar-benar diarahkan menuju terwujudnya sosok guru yang kreatif tanpa belengguh birokrasi dan perlu adanya ruang gerak untuk berkreasi dan tak lupa juga harus ada piningkatan taraf kesejahteraan hidup bagi para guru untuk memacu jiwa dan semangat guru itu sendiri untuk membatu mencerdaskan anak-anak bangsa, guna mewujudkan generasi bangsa yang cerdas, kreatif, mandiri dan berdaya saing global yang dapat mampu mengantarkan 200 juta lebhi rakyat Indonesia menjadi bangsa yang mempunyai kepribadian, cerdas, sejahtera dan bahagia.

Bigitu juga dengan kurikulum pendidikan di negri ini, yang seharusnya disesuaikan dengan nilai-nilai kultural dari berbagai macam etnis yang ada di dalam bangsa Indonesia, bukannya sistem pendidikan yang bersifat sentralistis ataupun bersifat dogmatis yang hanya menyandarkan pada kurikulum tanpa perhatikan kebutuhan dan kondisi subyek atau pelaku pendidkan yang terdiri dari siswa, guru dan masyarakatnya yang seharusnya saling berkaitan dalam sistem integral yang disebut ‘tripatriat’ pendidikan. Fungsi dan peranan tripatiat pendidikan adalah menjebatani. Tujuannya, agar aspirasi pendidikan yang tumbuh dari setiap sekola dapat dikembangkan dan diimplimentasikan dalam kehidupan masyarakat luas. Sehingga dengan memperdayakan tripartit pendidikan, setiap individu (siswa) dikemudian hari mampu memerankan tanggung jawab kehidupannya secara benar, kreatif dan berkeadilan, sehingga kehidupan masyarakat menjadi semakin tumbuh dan berkembang menurut perinsip-prinsip nilai kultural manusiawi.

Misalkan saja seorang anak SMP didaerah pedalaman Papua sana yang mungkin hanya bisa bersekolah dua kali dalam seminggu atau karena terbatasnya guru bantu maupun sarana belajar, harus dibebankan pada satandarisasi nilai UAN, selain itu mereka(anak-anak sekolah di pedalaman Papua) deiharuskan lulus mata pelajaran seperti Matematika dan Bahsa Inggris. Padahal jelas sekali mereka belum tentu begitu membutuhkan kedua ilmu tersebut dalam peraktek kehidupan dalam lingkungan sosial mereka. Hal ini lah yang perlu kita pertanyakan kepada pemerinta, apakah anak-anak tersebut mampu memenuhi target nilai yang diberlakukan oleh pemerintah?

Maka sudah saatnya, mulai sekarang kita melakukan reorientasi, mengubah dan mencari kembali tujuan pendidikan kita dimana pendidikan bangsa ini haruslah menghasilkan orang-orang yang mempunyai karakter, berjiwa kepemimpinan dan mempunyai semangat etos kerja yang tinggi untuk menjemput tantangan diluar kita dalam bentuk kompetisi global, sehingga bangsa ini tidak menjadi bangsa yang ketinggalan jaman (cupu). Dan yang terpenting kita harus bereaksi, bukan hanya retorika yang ujungnya adalah bicara tanpa bekerja dan tidak ketinggalan pula bahwa pendidikan haruslah berkeadilan sosial yang dapat diperoleh oleh setiap kalangan dan siapa saja.