Mei 29, 2010

Hak Asasi Manusia dan Idiologi Keamanan Nasional

Oleh: SangKodok



Berbicara tentang idiologi keamanan nasional takkan lepas dari aparat militer yakni TNI dan Polri. Berbagai macam pelanggaran hukum pada saat rezim soeharto berkuasa, aparat milter baik TNI maupun Polri yang tergabung dalam ABRI mempunyai andil dalam berbagai macam pelanggaran Hak Asasi Manusia baik secara langsung atau teang-terangan maupun secara tidak langsung dengan dalih menjaga keamanan dan ketertiban nasional. Militer yang melakukan pelanggaran hukum kadangkala persis seperti bintang di langit, terlihat namun tak dapat disentuh (hukum).

Kesadaran bahwa kita membutuhkan militer yang bekerja sesuai dengan koridor hukum yang ada membuat penelusuran kita terhadap kinerja militer pada masa lalu menjadi kebutuhan sebagai dasar pijakan kritik yang akan disampaikan. Terlebih bahwa sampai dengan saat ini, perubahan di tubuh militer yang berkaitan dengan watak dan sikap belum jauh bergeser dari apa yang ditampilkan pada masa lalu. Rezim telah berganti, namun militer tetap tak mampu merubah karakteristik kerja sesuai dengan tuntutan perubahan yang telah memaksa terjadinya pergantian rezim yang menaungi mereka saat ini.Disini timbul pertanyaan mengapa pihak militer sering kali terlibat dalam berbagai macam pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan keamanan nasional?.

Dalam sebuah negara modern yang demokratis, ketundukan militer kepada otoritas demokratik sipil adalah kemutlakan. Dengan ketundukan kepada otoritas sipil, maka militer telah melampaui fungsi dan wewenangnya, apalagi dengan turut serta pada arena politik. Dengan keuntungan kepemilikan kekuatan represi bersenjata, militer dapat menjadi kekuatan yang bertarung secara tidak fair dalam pentas politik, sehingga muncullah berbagai kekerasan dalam rangka memenangkan pertarungan tersebut. Sesungguhnya militer hanya berfungsi sebagai pertahanan dari serangan musuh, sehingga negara berkewajiban untuk memberikan fasilitas dan pembiayaan dalam rangka mendukung profesionalismenya.

Sebagaimana Winston Churcill berkata bahwa, “Perang adalah hal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal.” Sayangnya, militer di indonesia enggan menerima supremasi sipil, bahkan cenderung meremehkan. Mereka lupa bahwa profesionalisme mereka bukanlah tujuan, namun alat untuk mencapai tujuan dari negara yang dipimpin otoritas demokratik. Militer didesain untuk membantu mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk memerangi warga negaranya degan dalih keamanan.

Dalam konteks Indonesia, ketidakmauan militer mengakui supremasi sipil sangat jelas terlihat pada masa pemerintahan Orde Baru yang notabene adalah pemerintahan militer. Doktrin dwifungsi, manunggal TNI, ABRI masuk desa, sampai ketrelibatan militer dalam musyawarah pimpinan daerah, adalah proses untuk mengukuhkan intervensi dan peran dominasinya dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian bertahan sampai 32 tahun. Pengalaman inilah yang kemudian menghambat proses pengembalian militer pada fungsinya. Dengan dalih mengembalikan stabilitas keamanan nasional melalui tindakan-tindakan kekerasan atau penculikan rezim militer bekerja sebagai mesin-mesin teror, mesin-mesin horor, mesin-mesin parasit, mesin-mesin fasisme. Politik kekerasan dimunculkan, diatur dalam undang-undang dan dipelihara untuk dimunculkan dalam situasi-situasi “ketiadaan kendali”.

Transisi dari Orde Lama menuju Orde baru ditandai dengan perubahan orientasi negara dari yang tadinnya penekanan atas “revolusi” dan anti-imperalisme serta politik mobilisasi massa dengan memanfaatkan pengaruh Soekarno, diubah menjadi prioritas terhadap pertumbuhan ekonomi, investasi asing dan semangat anti komunisme yang tinggi. Militer berhasil melakukan pengendalian sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Militer memastikan kehadirannya sampai ke tingkat desa dengan tugas memelihara keamanan, mengawasi kegiatan pemerintah sipil dan bertindak sebagai pengawas politik.

Pada perkembangan selanjutnya, Soeharto yang telah memegang tampuk kekuasaan politik secara mutlak, semakin memanfaatkan alat-alat represif negara dalam rangka pengamanan kekuasaan politik dan ekonominya. Kepentingan ekonomi-politik telah menyeret Orde Baru menyusun suatu tatanan sosial yang kondusif dan reseptif . Di sinilah proyek rule and order itu bekerja. Aparat teknokrasi bekerja merumuskan karakter masyarakat yang diperlukan untuk kelancaran kepentingan rezim, sementara aparat represif dan ideologis bekerja secara sistematis menghancurkan potensi-potensi kreatif masyarakat baik melalui kekerasan langsung maupun rekayasa, teror dan intimidasi.

Pada kondisi inilah pelanggaran HAM muncul dalam kehidupan masyarakat. Kerakusan kekuasaan berjalan begitu rupa dengan institusi militer sendiri, sehingga mereka tidak mampu membedakan mana peran militer profesional dan mana kepentingan ekonomi politik. Tindak kekerasan militer berlangsung sistemik dan lahir dari rahim kebijakan politik yang represif, bukan sekadar insiden atau tindak indisipliner aparat. Dalam banyak peristiwa, militer menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang memunculkan pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan keamanan negara. Militer juga masuk pada konflik-konflik yang sebenarnya bukan merupakan wewenangnya seperti dalam konflik-konflik perburuhan dimana mereka bukan hanya berperan sebagai saksi dan penjaga dalam aksi perundingan dan pemogokan buruh, namun juga sebagai peserta atau pemain, penengah atau mediator, pengintimidasi dan penangkap atau penahan (kasus Marsinah).

Ketika terjadi pelanggaran HAM, negara menciptakan kisah resmi yang mengabaikan aspek-aspek kebenaran, dan bahkan memalsukan kebenaran yang sesungguhnya. Pernyataan publik tentang realitas nasional, laporan pelanggaran HAM dan terutama penyinkapan kebohongan institusional dipandang tidak subversive. Kalau kasus-kasus itu bocor ke masyarakat, perhatian warga masyarakat akan segera dialikan. Lingkaran kebisuan diciptakan agar masyarakat segera melupakannya. Konsep keamanan nasional digunakan bukan untuk melindungi, melainkan untuk membungkus dan meberikan pembenaran atas pelanggaran HAM.

Sampai dengan hari ini, keterlibatan militer dalam berbagai pelanggaran HAM tidak juga berhenti. Militer sebagai pelanggar HAM ada pada tingkatan sebagai pelaksana kebijakan negara yang berkaitan dengan serangan langsung terhadap penduduk seperti yang terjadi di Aceh, atau terlibat dalam wilayah konflik sipil dimana militer ditempatkan sebagai instrumen yang bertanggungjawab terhadap penghentian konflik. Dalam hal menjalankan fungsi represif negara TNI mengabdikan diri pada prinsip-prinsip stabilitas keamanan nasional yang dianut negara.
Ketika publik mencoba mendesakkan pengadilan HAM atas apa yang terjadi, Militer menolak dengan menyatakan akan mengadili sendiri pada peradilan militer yang sebenarnya tidak lain adalah mekanisme mempertahankan impunitas. Paling telak, publik hanya bisa memaksakan pengadilan koneksitas, yang itu artinya TNI meraih kemenangan karena mekanisme ini tanpa sadar menempatkan militer pada posisi yang berbeda dengan kalangan sipil sehingga mendapat perlakuan khusus dalam proses hukum. Seolah-olah militer bersedia menempuh proses hukum, padahal proses ini telah mengamputasi peran dari Perpu No 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM yang kemudian disempurnakan melalui Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Dalam pandangan filsuf Yunani Aristoteles, “A state exists for the sake of a good life, and not for the sake of life only.” Dengan berpijak pada arguman Aristoteles ini, dapat dipahami bahwa desakan masyarakat terhadap negara untuk mengeliminir dominasi militer dalam pemerintahan karena memang militer bukan didisain untuk mengontrol kehidupan warga negaranya, namun yang utama adalah untuk mendorong lahirnya kesejahteraan warga negara. Dengan demikian upaya untuk menumbuhkan suatu pemerintahan sipil yang mampu mengontrol ruang gerak militer adalah sebuah keharusan. Penting juga pengupayaan penciptaan kehidupan yang demokratis, dimana rule of law terwujud dengan partisipasi rakyat untuk melakukan apa yang disebut David Bethaam sebagai kegiatan popular control over collective decision-making and equality of rights in the exercise of that control.

Kesadaran bahwa kalangan sipil mampu memerintah dan tidak perlu inferior terhadap kaum bersenjata dipastikan mampu mendukung pemulihan politik, dimana segala bentuk pelanggaran HAM oleh militer dapat diadili dan segala bentuk kebijakan yang memberikan payung hukum dan legitimasi terhadap pelanggaran HAM dikoreksi. Tinggal kita yang menentukan, apakah proses ini akan digulirkan lambat atau pun cepat, atau tetap menjadi uthopia. Yang jelas, kita semua muak dengan militer dan pelanggaran HAM-nya dengan mengatasnamakan keamanan nasional.